Beginilah wajah jurnalis majalah gaya hidup wanita, terkemuka jakarta. Majalah Cassandra. Namanya Zahra nur khaulah. Usia 22 tahun. Anak kost, dari kamar kost di jakarta bertarif di atas satu juta sebulan. Penampilan di di bawah rata-rata. Bukannya minder. Ara hanya mau realistis untuk menjabarkan struktur fisiknya yang terdiri atas kulit pucat yang tak seksi, hidung yang tidak terlalu bangir, kulit yang sekaya kilang minyak di brunei, dada semulus papan setrikaan, dan rambut di bawah bahu sedikit hitam pekat, satu-satunya yang bisa ara banggakan adalah tubuhnya yang langsing dan tidak terlalu pendek. Untuk yang satu ini ara boleh menyombong, bahwa hampir semua potongan baju mau berdamai dengannya.
Tapi apalah artinya tubuh langsing, jika maunusia-manusia kota seperti jakarta ini tetap membutuhkan wajah cantik sebagai batu loncatan untuk menilai lebih jauh daya tarik seseorang. Terlebih lagi... Astaga, kenapa juga ara terlahir sebagai manusia minder yang taku ngomong! Lalu lintas otak menuju mulut seperti terhambat macet jam kantor. Mepet. Seret. Akhirnya adalah kenampuan bicara yang setara balita gagap. Lengkaplah sudah penderitaan ara di belantara jakarta. Sudah jelek gagu pula."Yuhuu pulang!" Ara berteriak riang, tangannya dengan cekatan membereskan kertas kosong yang berserakan. Sebagian sudah berhambur di lantai. Kecamatanya sedikit merosot, dengan tangan repot ia membetulkan. melempar senyum pada olla yang melongokkan kepalanya di kubikal. Perempuan itu menyelipkan pulpen di antara hidung dan bibir atasnya. Mira ikut menoleh, mendorong kursi duduknya memperhatikan ara dengan botol minum di tangannya. Di susul eli dari belakang ikut mencodongkan tubuh. Mulutnya tengah mengapit lakban hitam yang di biarkan menggantung. Ara mendorong kursi duduknya membungkukan tubuhnya mengambil beberapa kertas di lantai. Berantakan!
"Cil!"
Duk!
"Adooh..."
Ara mengelus puncak kepalanya yang tak sengaja mengenai ujung meja. Mira tertawa, kini beberapa kepala ikut menoleh memperhatikan ara yang nampak terlihat rusuh.
"Jangan dulu pulang, ngopi dulu sama anak-anak"
Mira yang lebih dekat meja kerjanya dengan ara, ia menyeret kursinya mendekati ara.
"Sumpah kerjaan gue udah puyeng, banyak banget deadline yang harus gue kejar...." Ara meringgis mengelus kepalanya dengan bingung. Matanya bergera-gerak memperhatikan beberapa kertas yang mira tebak, itu adalah hasil imajinasi milik ara yang tidak jelas.
"Orang kaya lu masih pusing mikirin kerjaan Ra? Bukannya Bu fiony selalu ringanin tanggung jawab lu?" Dey ikut mendekat, ia meletakan segelas teh tawar di meja ara. Kemudian menarik kursi miliknya mendaratkan tubuhnya di dekat mira.
"Enak kalau punya orang dalem ya dey" Mira ikutan bersuara. Ara yakin sebentar lagi akan ada pengunjung baru yang mendatangi mejanya, menghadirkan topik yang ujung-ujungnya tidak lain dan tidak bukan. bergosip."Deadline mangkel ya tinggal bilang, bu saya beberapa hari kebelakang kurang enak badan belum sempat saya proses... Ketimbang bilang gitu aja hidup lu udah aman"
Eli ikut nimbrung, ia mengambil beberapa kertas kosong di meja ara lalu meremasnya, melempar dengan bidikan akurat. Dengan sempurna bulatan kertas itu masuk ke tempat sampah. Eli menyenderkan tubuhnya di dinding
"Sesuatu yang di lakukan dengan teliti dan hati-hati memang tidak pernah salah sasaran" katanya tersenyum kecil
"Tapi serius gue masih heran kenapa Bu Fiony selalu beda merlakuin lu ya ra?"
Ara menggeleng, mengangkat bahu pendek "Padahal gue nggak pernah ngapa-ngapain, apa muka gue terlalu memperhatinkan ya?"
"bukan lagi!" Olla tertawa, ia menopang kepala di pemabatas meja kerjanya "Gue liat lu kaya orang belangsak mulu, ya untung ketolong sama senyum lu"
Mira memutar bola matanya malas "Apa korelasinya? Gue liat nih anak emang kaya gak permah mandi anjir, dekil!" tawa lepas langsung terdengar riuh.
"Eh tapi si ara lebih beruntung kali dari pada kita" eli menahan tawanya "Hati-hati lu di aduin sama bu pio"