Chika membasuh wajahnya di washtafel setelah menggosoknya dengan sabun muka. Pantulannya terlihat segar di cermin Setelah sisa Make up nya di bersihkan. Bibir tipisnya masih terlihat merah sisa liptint yang dia pakai saat show di theater, pun dengan rambut curly yang sudah terlihat tak beraturan sengaja dia jepit.
Bibir tipisnya bergerak, mengeluarkan nafas kecil namun terasa berat. Terbuka sedikit kemudian terkatup lalu menyunggingkan senyum yang terlihat menyedihkan. Setelah kejadian itu, dia tidak permah merasa lebaih baik. Tidak merasa ada hal yang bisa membuatnya benar-benar tertawa. Tidak ada
Tidak ada yang bisa dia ajak becanda, tidak ada yang bisa ia ajak berbicara, tidak ada yang bisa membuatnya nyaman tidur selain di kamarnya sendiri. Tidak ada yang Menjahatinya, tidak ada yang menjauhinya hanya saja semua terasa berbeda setelah hari itu. Obrolan randomnya tertelan lamunan, hari-hari itu masih terasa nyata meski sudah lama tiada.
Haruskah dia ikut pergi? Setelah semuanya terasa begitu menyakitkan untuk dirinya sendiri. Keadaan seakan sukar untu kembaik, dia muak dengan permainan hidupnya sendiriTanggal 24 bisa ketemu? Datang ketempat biasa jam 7 aku pastiin sudah ada di sana
Chat dari seseorang 2 hari yang lalu kembali chika lihat. Nomor baru yang tidak dia simpan. Dia hanya membacanya ragu untuk membalas dan berakhir dia abaikan, dan besok adalah waktu tempo di mana ia harus memutuskan antara datang atau tidak.
Haruskah ia menemuinya kembali? Itu sama saja membuka luka lamanya yang sudah susah payah ia obati. Atau ia datang dengan perasaan yang harus kembali ia mainkan? Rasanya sangat melelahkan.
Chika kembali menatap dirinya di cermin setelah selesai dengan kegiatannya. Bedanya kali ini wajahnya masih terpoles dengan make up, bibirnya mengkilat dengan balutan baju yang sederhana. Hanya hoodie dan celana jins serta sepatu sneaker pemebrian fans.
"Gak pulang chik?" rekan kerja sekaligus teman dekat chika menyapa setelah menutup pintu, ia memburu meja rias dan meletakan barang-barangnya. Hanya dengan perempuan itu chika merasa masih ada harapan untuk tetap tersenyum.
"Pulang kak, tapi kayanya mau ketemu sama orang dulu"
Tangannya dengan cekatan merapihkan barang-barangnya. Eli, perempuan itu menatapnya intens, tapi tidak mendesak. Sesaat sebelum kembali membuka suara, chika lebih dulu melambungan pertanyaan.
"Udah lama banget gak denger kabarnya ya kak? Lu kangen gak sih?"
Eli menghentikan pergerkannya, kali ini tatapannya penuh tanya. Ada apa? Apa yang chika maksud? Tapi perempuan itu menghindari teropongan Eli
"Kenapa kaya gini sih"
Tiba-tiba suaranya bergetar, nafas chika terdengar berat.
Eli segera mendekat, merangkul bahu perempuan itu mengelusnya pelan. Akhir-akhir ini chika memang dalam keadaan emosi yang kurang stabil. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya membuat chika sering berubah-ubah. Ya meski tebakannya tetap tertuju pada satu orang.
"Gue udah berulang kali bilang, lu gak kehilangan siapapun termasuk gue. Tolong.."
"Ini kaya berat banget, aku kaya gak sanggup. Aku udah ngakuin kesalahan aku, aku udah dapet konsekuensinya tapi kenapa seolah aku manusia paling berdosa?"
Eli tidak berani buka suara
"Tatapan mereka... Mereka masih menatap aku dengan pandangan jelek!"
"Kenapa dia pergi? Kenapa dia gak mau berjuang bareng-bareng sama aku?"
"Dia punya jalannya sendiri chik..." eli mendesis berat, usapannya memelan. Berganti meraih bahu chika memutarnya untuk menatapnya.
"Gak ada yang perlu lu sesali apalagi menyalahkan seseorang atas apa yang pernah terjadi sama lu, dan itu pure atas kesalahan yang lu lakuin secara sadar"