Chapter kali ini panjang banget 4550 word! Jadi pelan pelan bacanya yaa hihi.
"Nur habis dari sini mau kemana?"
"Nur bisa bantu iketin rambut saya gak?"
"Nur masa mira bilang kalo saya gendutan"
"Pulangnya bareng saya ya nur"
"Nur tolong ke ruangan saya sebentar"
"Kamu boleh pulang cepet kalo pulangnya sama saya"
"Nur temen-temen kamu kenapa modelnya aneh semua? Saya pusing"
"Ara bisa jaga jarak dulu nggak? Jantung saya deg-degan terus kalo deket kamu, saya gak suka bikin repot!"
"Nur, saya bicara sama anda"
Ara menutup laptopnya dengan gusar, ia melemparkan tubuhnya ke tempat tidur dengan lesu. Bu Chika. Wanita menyebalkan yang sudah beberapa bulan ini menjadi kepala di devisinya membuat kepalanya ingin meledak. Hari-harinya selalu was-was tak tenang, belum lagi kalau ada rapat dadakan pasti dirinyalah yang babakbelur habis-habisan. Di tambah olok-olokan dari teman-temannya yang ironisnya kalau sudah mode ghibah Ara selalu kalah telak!
Terkadang kalau tidak ingat bagaimana susahnya nyari lapangan pekerjaan di era sekarang, Ara serasa kepingin hengkang dan mencari pekerjaan baru yang meskipun berat tapi ia merasa aman. Boro-boro nyari kerja baru yang butuh usaha kerasa, ia bangun pagi saja kadang harus memaksa Mira untuk membangunnya kalau ada jadwal pagi. Alias males banget.
Tapi hanya pada Mira dan Eli lah mulut Ara bisa leluasa bersuara, menumpahkan sebagian beban yang hanya ia bagi lewat cerita. Memaki dengan kasar dan setelahnya mereka akan tertawa bodoh dengan pemikiran yang serupa.
Ruang redaksi di masa deadline ruwet dengan wajah-wajah yang di rundung kejaran waktu. Anin redaktur boga yang di kejar deadline kue semprong, tampak serius di depan komputer. Biasanya perempuan itu yang paling semangat wara-wiri menghampiri meja temannya mencari bahan gossip terbaru. Agaknya hari ini anin akan menjadi wanita paling sibuk seantero kantor walaupun jam makan siang sebentar lagi.
Sekarang, dengan sedikit mengendap Ara melewati jajaran redaksi yang sedang mumet itu. Kalian tentu tau alasannya mengapa. Dengan mulut olla yang suaranya seperti toa mesjid komplek mampu membangunkan jiwa-jiwa nyinyir bin aneh itu untuk meneropongnya. Tapi sepertinya kali ini Ara selamat. Pergerakannya tidak ada yang memperhatikan, dia tidak tau mira sedang melakukan ritual apa, tapi melihat wajah Eli yang nampak terlihat serius berarti rapat kemarin cukup membuat mereka jera.
Tapi Bu Fiony melirik Ara sebentar ketika ia melintasi meja-meja redaksi
"Mau kemana Ra..?"
"Habis liputan Bu, tapi mau ke depan makan siang"
"Teman-teman mu nggak ikut? Biasanya rame-rame" Bu Fiony tersenyum ramah. Selalu ada malaikat di dunia yang fana ini
"Nggak Bu," Ara balas tersenyum "Buat sekarang katanya deadline lebih penting ketimbang urusan perut"
"Sebuah keajaiban yang luar biasa!" Kali ini tawa kecilnya terdengar jenaka. Gawat! Ara mengendus sesuatu yang agaknya sedikit mengkhawatirkan.
"Kalau begitu saya ikut kamu"
Strike! Rupanya tuhan memang tidak pernah mau melihat Seorang Zahra Nurkhaulah bernafas lega dalam sebuah masalah. Alhasil, ia hanya mengangguk tanpa protes dan mengikuti kemana Bu Fiony melangkah.
Lagi-lagi, ia harus merasa jantungnya di bikin ngepot. Bu Fiony mengajaknya memasuki rumah makan yang seringnya di isi oleh orang tertentu. Sambil berjalan menuju tempat tujuan yang tidak terlalu jauh, Ara memperhatikan pakaiannya. Kemeja warna hitam, dan jins warna cream yang cukup cocok di tumbuhnya. Tidak terlalu buruk di padukan dengan sepatu kets hitam yang baru saja ia beli beberapa minggu yang lalu. Oh tidak lupa dengan tas ransel yang setia menemaninya kemanapun.
Ara berjalan dengan segenap kekuatan yang dipaksakan. Benar dugaannya mayoritas pengunjung adalah orang-orang sejajar seperti Bu Fiony. Ini crowd yang paling mengerikan. Mematikan. Mata Ara dengan grogi menangkap area sekitar. Ada beberapa orang yang cukup familiar bahkan sangat familiar di pandangannya. Di ujung meja paling depan, sebuah teropongan tajam telak mengawasi pergerakannya menuju meja paling belakang. Matilah dia