MERAH JAMBU

309 15 0
                                    

"Tapi pa, anak itu harus didukung!! Dia sudah menjadi yatim piatu apa mama dan papa tidak punya hati???!!!!" Teriakkan dari bravemanku itu membuatku nenoleh padanya.
Haruskah mereka bertengkar disaat seperti ini? Sungguh tidak punya sopan santun.
"Roby!! Kau harus dengar ayahnya dulu teman kerja papa jadi tolong jangan bertingkah seperti kau kakaknya" wajah braveman ku langsung cemberut dan membuat keheningan yang tidak penting.

"Kau tidak sendìri RoMa.. aku akan selau ada saat kau membutuhkanku" bisikkan halus itu makin lama makin terasa sungguhan, is it dreams,? That so bad. Kenapa bisa begitu asli seperti ini? Ketika kubuka mataku sudah tampak Robert mengelus-elus pipik, membelai rambutku. Entah aku ingin sekali terus menutup mataku membiarkan dia terus membuat wajahku hangat. Tapi..

"Menyingkirlah dariku!!" Bentakkanku mengagetkan dia. Dia bahkan memasang wajah aneh saat itu.

Tawaku pecah melihat kejadian itu. Kenapa ada hal darinya yang membuatku sebahagia ini? padahal lusa lalu dia bagaikan kotoran yang tidak berarti apa-apa bagiku.

"Hei!! Jangan tertawa sekeras itu! Atau nanti kucium kau!!" Ancam itu berlaku bagiku, membuat aku jadi diam tak bergeming. Kutinggalkan dia dan bergegas dari kampus. "Nona Loardo, jangan lupa tentang janjiku oke?!!" Teriakkannya itu bak dentuman keras meriam membuatku pengan dan untuk melawan suara keras itu, aku harus menutup kupingku erat-erat. Sampai berapa lama lagi aku harus bersama dengannya? Apakah ini tidak bisa diakhiri saja?

----

Tes! Tes! Tes! Airmata mengalir kembali dipipiku, menatap Vei dan Peter yang sedang bergandengan tangan berada di hadapanku, sesekali aku melihat Vei bermanja-manja ria pada Peter. Kenapa cobaan terus saja datang? meskipun aku dan Peter sudah berpisah tapi perasaanku padanya tak seutuhnya menghilang.

"Jangan melihat apa yang tidak ingin kau lihat!" Tatapanku berubah menjadi gelap. Suara yang sudah tidak diragukan lagi adalah Robert membuatku berontak secara otomatis.
"Kalo gitu Jangan ikut campur apa yang bukan urusanmu!" bisikku pada Robert.
Robert terdiam sejenak aku mengambil nafas panjang dan mencoba berontak darinya. Tapi tangannya yang lebih besar dariku membuatku  tak bisa berbuat banyak.
"Aku tidak bisa membiarkanmu menangis, RoMa.."katanya meringis. "Kalo kau menangis hatiku seperti tertancap belati merah, aku tidak bisa ..." lama kelamaan dekapannya pada mataku melemah dan akhirnya iapun melepaskan dekapannya.
Setelah perbincangan itu Robert tertunduk lemas dan meninggalkanku yang sedaritadi menatapnya.
"Kenapa ini??" Bisikku pada diriku sendiri. "Mungkin aku harus mulai mempercayainya mungkin.." batinannya itu dibuyarkan oleh kehadiran Peter dan Vei yang menepuk pundaknya.
"RoMa ... ha.. hai.. apa kabarmu?" Peter memulai pembicaraan dengan gugup dan canggung. Vei yang menatap sinis RoMa dari awal mulai menarik-tarik lengan baju Peter.
"Baik.. kau dan Vei sepertinya baik juga"
Sebelum Vei sempat mencibirku, ku tinggalkan mereka berdua. Tepat tiga langkah setelah kutinggalkan mereka suara teriakkan perempuan yang sudah pasti dari Vei. Semua mata pastinya tertuju padanya, tapi entah kenapa aku sudah tidak merasa tertekan lagi oleh kehadiran mereka berdua? Baru saja lima menit yang lalu aku sakit hati karena kemesraan mereka, tapi sekarang aku malahan tidak merasakan apa-apa. Mungkinkah rasa cintaku pada Peter sudah tidak ada?
KRIIIING!! dering teleponku membuyarkan lamunanku yang membingungkan. Telepon itu berasal dari Krysta, teman kerja part time ku.
"RoMa.!! RoMa, tolong!!" Ada apa dengannya?
"Ada.. ada apa Krys? Kenapa kau panik sekali??" Suara di telepon terdengar ramai dan banyak sekali suara kaca pecah.
"Pak dirut.. dia.... dia mabuk!!" Mabuk? Lalu? Kenapa aku yang ditelepon? "Dia terus-terusan berteriak.. dia meneriaki namamu!!!"
"Apa??! Aku? Kenapa?" Teriakku.
"Itu yang ingin kutanyakan padamu..?"Praang!!! sekali lagi kaca pecah terdengar sanfat keras di dekat Krystal.
"Baiklah, aku akan ke cāfe sekarang juga..!"
--
Sesampainya di cāfe aku langsung berlari memasukinya. Dan benar saja, sudah seperti kapal pecah-tidak kapal pecah yang terguling jauh.
"RoMa!! Kenapa kau seperti itu!!!" Teriakkan parau Robert membuatku terbelalak kaget, dia berteriak sambil memegang botol whiskey mengangkat-angkatnya. Sedangkan yang lain mencoba menenangkan Robert dengan menarik lengannya, tapi itu semua percuma dilihat dari tubuh atletis Robert mereka semua pasti kalah. GUMPRANG!!!! Benarkan, pak manager dan karyawan yang lainnya terlempar jauh. Krystal menghampiriku, wajahnya penuh luka, bibirnya sedikit berdarah.
"Krys?! Sebenarnya apa yang sudah dilakukan Robert sejak tadi?!" Emosiku meluap-luap, darah yang mengalir dipembuluh perlahan mendidih, kurasa kemarahanku sudah sampai puncaknya.
"Sejak tadi ia melempar-lempar barang.. untung kami belum buka jadi tidak ada pelanggan yang tau.." ucapnya berbisik-bisik. "Lagipula RoMa, kau apakan dia? Dia terus-terusan memanggil namamu, wajahnya seperti baru ditolak seorang gadis.."tambahnya, ucapannya yang barusan mwmbuat pipiku memanas. Krystal yang melihat perubahan warna itu langsung melotot kaget. "Be.. benarkah itu?! Kau menolaknya?" Lanjut Krystal dengan masih dengan berbisik. Jelas aku pasti membantah.
"Tidak, tidak ada kalimat menolak atau menawarkan tapi.. kurasa dia menganggap kalimatku adalah penolakkan" jelasku pada Krystal, dia hanya bisa menggeleng-geleng.
"Kalau begitu aku tau cara, agar pak dirut berhenti mengacau.." kalimatnya itu membuat firasatku tidak enak, ditambah seringainya yang menyeramkan bagiku. "Pak Direktur!!" Kenapa dia memanggil pak direktur? Sedetik kemudian Robert berbalik, dan sedetik kemuadiannya lagi aku sudah didorong menuju kepelukkan Robert.
"Krys...!" Aku geram padanya, dia selalu seenaknya saja.
"Tenangkan dia, peluk dia dengan erat.. pasti dia luluh.." jelasnya dengan tenang.
Mungkin Krystal benar, aku harus menenangkannya. Kutepuk-tepuk pundaknya dengan lembut, seperti bayi yang mau tidur. Lama kelamaan otot-ototnya yang dari tadi menegang mulai mengendur, botol whiskey yang dipegangnya langsung ia lepas dan airnya pun tumpah, wajahnya dipendam ke bahuku, lalu dia mulai memelukku erat. Sangat erat sampai aku susah nafas.
"RoMa.. aku hanya ingin membantumu, aku ingin kau melupakan bajingan itu.." lirihnya padaku. Mungkin bagi yang lain itu terdengar seperti sekadar erangan tapi bagiku, ucapannya terdengar jelas. "Aku ingin kau hanya menatapku seorang.
Aku tidak mau kau disakiti lagi.."suaranya mulai mengecil dan akhirnya tidak ada suara-ia mulai tertidur. Seluruh pegawai mencoba membawanya ke kamar cadangan Direktur di lantai dua.
--
"Tidak kusangka RoMa, dia sangat mencintaimu.." ucap Krystal, sedari tadi kami membicarakan Robert yang mengigau. Tidak tanggung-tanggung mengigaunya dia berkata.
"RoMa... aku sangat mencintaimu.. sangat.. sangat.. kau boleh perlakukan aku sebagai budakmu...." igauannya didengar oleh seluruh karyawan dan membuat aku menjadi trending topic hari ini. Akhirnya kuceritakan saja semuanya pada Krystal.
"Yang terjadi disini adalah pak dirut sudah jujur dan kau masih belum jujur pada perasaanmu sendiri..." mendengar ucapan Krystal aku mulai meradang, apanya yang tidak jujur?!
"Apa yang kau maksud dengan tidak jujur?! Aku sangat jujur!" Bantahanku tadi membuat Krystal memutar matanya.
"Oke kau memang jujur terhadap perasaanmu I Believe you, darling. Tapi, kau tidak tau tentang perasaanmu yang sesungguhnya.." segera setelah itu Krystal. Meninggalkanku yang terpaku akan ucapannya.
- enam jam setelah itu suara teriakkan terdengar kepenjuru cāfe. Suara yang hanya dimiliki oleh bapak direktur utama.
"THEEOOO!!!!!" Dia meneriaki nama pak manager. Sepertinya dia akan marah besar. Pak manager langsung naik ke lantai dua. Setelah beberapa menit, pak manager turun dengan wajah lesu. Dia segera membuka mulutnya.
"Cāfe ditutup selama tiga hari karena kerusakan yang parah, jadi kalian boleh pulang..." baru saja aku ingin mengambil tasku. Pak manager mulai berbicara lagi. "RoMa, kau tidak boleh pulang.. kau dipanggil pak direktur, katanya cepat" Apa?! Benar-benar bocah besar ini.
Secepatnya kulangkahkan kakiku menuju lantai dua. Robert sudah menungguku dengan hanya memakai boxer.
"Santai saja aku hanya ingin bertanya padamu.. apa saja yang aku ucapkan saatku mabuk?" Wajah Robert memerah, dia mencoba menutupi wajahnya dengan tangannya yang kekar.
"Tak banyak sih.. semuanya berintikan 'kau mencintaiku' ditambah teriak-teriakkan.." ucapanku membuat wajahnya memerah. Dia terlihat cute saat seperti itu. "Oiya.. kau bilang bahwa kau mau menjadi budakku.." dia terkejut bukan main sampai-sampai berdiri dari tempat duduknya dan menatapku mencari kebenaran dari mataku.
"Be... benarkah??! Aku akui aku memang sangat mencintaimu tapi.."
"Aku dengan senang hati mau menjadikanmu budak cintaku.." kucongkakkan diriku untuk hari ini saja. Dia mulai berdiri mendekatiku. Tatapannya yang eksotis itu membuatku merinding. Aku dipojokkan hingga sudut kamar.
"Kalau aku mau menjadi budak cintamu, apakah kau mau manjadi busak seksku?" Apa katanya? Budak seks? Aku ingin mengomelinya. Tapi baru saja aku membuka mulutku, Robert langsung menahan dengan jarinya.
"Kalau kau tidak apa-apa, oke.. tapi izinkan aku menciummu kali ini.." aku tidak berkata apa-apa. Dia langsung menyicipi bibirku dengan lembut, aneh aku tidak melawan perlakuannya. Mungkin aku sudah mulai mencintainya, atau mungkin hanya termakan suasana saja. Setelah ciuman itu Robert menatapku dan mendekapku dengan lembut lalu mencium keningku. "Kutunggu saat kau mencintaiku, nyonyaku.."
---
Aku sepertinya tidak akan mencintaimu Robert, hatiku hanya tertaut pada bravemanku, by...Roby. Mungkinkah aku akan bertemu dengannya? Kapan aku akan bertemu dengannya?
---

COLOR of My LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang