Bagian 7

49 43 10
                                    


“Sudah puas kamu membunuh kakakmu, hah?”

 
Lizy menulikan telinga, ia menutup pintu di belakangnya, berjalan melewati ruang tamu tanpa melirik orang tuanya sedikitpun.
 
Setelah sekian lama kedua orang itu akhirnya mengingat rumah.
 
Hanya ketika salah satu anaknya telah mati…
 
“MAMA BERSUMPAH TIDAK AKAN PERNAH MEMAAFKAN KAMU, AGRALIA MARVENZY!!”
 
Lizy menghentikan langkah, menatap ibunya yang berdiri menunjuk ke arahnya dengan tatapan murka.
 
Ingin memukul, tapi tidak berani mendekat lebih jauh.
 
Lizy memasang senyum hampa, menatap ibunya dengan tatapan kosong.
 
“Mama nggak usah khawatir..” Lizy meneguk ludah. “Lizy juga nggak bakalan pernah maafin diri sendiri, kok.”
 
Berbalik, gadis itu kembali melanjutkan langkahnya menuju kamarnya.
 
Ia mengunci pintu lalu berbaring telentang di ranjangnya.
 
Lizy menatap langit-langit kamar, lebih tepatnya ke arah ventilasi.
 
Suaranya telah berhasil kembali berkat terapi rutin yang dijalaninya. Lizy menemukan rekening Gama di laci meja belajarnya di sertai dengan secarik kertas yang menyatakan bahwa seluruh tabungan kakaknya itu di berikan pada adiknya.
 
Ragas menyarankan Lizy untuk menggunakan uang dari Gama untuk terapinya.
 
Lizy memejamkan mata, sekilas gelagat aneh dari Ragas tadi kembali memenuhi kepalanya.
 
Saat siuman tadi, entah mengapa Lizy sudah berada di dalam mobil.
Saat Ragas menanyainya tentang apa yang terjadi selama ia pergi, Lizy hanya mengangkat bahu tak tahu, atau lebih tepatnya tak ingat. Yah, entah mengapa ingatannya terhenti saat ia menatap keluar jendela dan merasa bahwa kepalanya mengalami pusing yang luar biasa, selebihnya Lizy tak ingat apapun sama sekali.
 
Ragas yang mendengar penuturan cewek di sampingnya pun hanya meneguk ludah, ia mengusap kepala Lizy perlahan, berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
 
Namun setelahnya, Ragas yang keringat dingin dan beberapa kali kehilangan konsentrasi mengemudi membuat Lizy bertanya-tanya. Namun, laki-laki itu malah balik bertanya apakah dirinya masih tertekan karena kepergian Gama?
 
Ragas juga menanyakan apakah Lizy ingin ke psikiater untuk memulihkan trauma yang mungkin di deritanya karena kejadian tragis beberapa waktu lalu?
 
Lizy dengan tegas menolak.
 
Ia tidak gila!
 
Hanya orang berpenyakit jiwa saja yang berkonsultasi dengan para psikiater, dan Lizy tidaklah gila!!
 
Setidaknya sekarang masih belum.
 
Tapi Ragas dengan kekeuh mengajaknya ke psikiater membuat Lizy meradang.
 
Ada apa dengan Ragas?
 
Apakah akhirnya laki-laki itu juga menganggapnya gila sama seperti yang lain?
 
Apakah Ragas akhirnya akan menjauhinya karena sadar bahwa dia adalah perempuan pembawa sial yang menjadi beban bagi semua orang?
 
Apakah pada akhirnya satu-satunya hal yang Lizy punya sekarang akan ikut meninggalkannya sendiri? Seperti Gama?
 
Percakapan mereka terputus dengan Lizy yang menangis sesenggukan membuat Ragas yang melihatnya tak iba. Ia menarik pacarnya ke dalam pelukan, membisikkan kalimat-kalimat penenang seperti kalimat bahwa ia tak akan pernah pergi, bahwa laki-laki itu tak akan pernah meninggalkannya sendiri, bahwa Ragas akan berada di sampingnya sampai akhir dan kalimat-kalimat lain yang sedikit memuakkan bagi Lizy.
 
Ia tak perlu janji, ia hanya perlu pembuktian.
 
Bukti bahwa Ragas akan terus berada bersamanya sampai akhir.
 
“Meong!!”
 
Lizy membuka mata, ia menatap datar seekor kucing berbulu putih yang melompat masuk ke kamarnya lewat jendela. Lizy menjulurkan tangannya ea rah kucing putih yang bergelung di sampingnya itu, mengelus bulunya perlahan. Hembusan angin dari jendela yang terbuka membuat Lizy merasa mengantuk, ia menyamping, menatap kucing putih itu dengan lebih seksama.
 
Lizy berkedip, sudah 99 kali..
 
1 kedipan lagi dan ia akan pingsan.
 
Tapi tunggu….
 
Kenapa kepalanya lagi-lagi sakit sekali??
 
Arggh….
 
Lizy memegang kepalanya, sepertinya tak lama lagi kepalanya akan pecah. Dulu ia tak pernah merasakan hal seperti ini sesaat sebelum pingsan. Palingan ia hanya merasa pusing biasa-biasa saja. Ada apa ini??
 
Lizy merasakan perutnya bergejolak, ia mual setengah mati. Cewek itu berkeringat dingin, seolah-olah ada sesuatu yang ingin mendesak keluar dari tubuhnya.
 
Lizy berkedip untuk terakhir kali sebelum kegelapan lagi-lagi menyelimutinya.

 

~~~
 


Basah..
 
Lizy merasakan bahwa pakaian yang di ia pakai melekat ke tubuhnya karena basah, sangat tidak nyaman.
 
Cewek itu membuka paksa matanya, siuman. Lizy menarik tubuhnya untuk duduk, bau amis darah serta bau anyir bangkai menyambut indra penciuman Lizy, cewek albino itu refleks menutup hidung dengan punggung tangan.
 
Lizy memindai sekelilingnya, lampu yang belum ia nyalakan membuatnya sedikit kesu—
 
ASTAGA!!
 
Lizy terlonjak dan bergegas mundur ketika menyadari ada sosok lain di kamarnya, sesosok laki-laki yang sedang berjongkok di sudut kamar sambil membelakanginya.
Sosok itu terlihat sibuk melakukan sesuatu, di karenakan posisinya saat ini Lizy jadi tidak dapat mengetahui apa yang sedang di lakukan—
 
Akhh!!! Bukan hal itu yang penting sekarang!!
 
Yang paling adalah mengapa ada orang yang berani menyusup ke dalam kamarnya malam-malam begini??
 
Ayahnya? Tidak mungkin! Mendekati kamarnya saja pria paruh baya itu ketakutan.
 
Atau..
 
Perampok..lagi?
 
Lizy tertegun, deretan kejadian yang belum lama terjadi kembali terputar secara beruntun di kepalanya. Kejadian naas yang juga di sebabkan karena dirinya yang selalu membawa sial kemanapun ia melangkah pada akhirnya memaksa kakak laki-lakinya mengorbankan nyawa demi seseorang sepertinya.
 
Sekarang, Gama sudah tidak ada…
 
Tidak ada lagi yang akan melindunginya.
 
Tidak ada lagi yang akan bersedia mengorbankan nyawa demi gadis pembawa sial sepertinya.
 
Tau begini hari itu ia tak akan egois bersikeras bertahan hidup sendiri. Andaikan ia tau kalau ajalnya akan datang tidak lama setelah Gama, hari itu ia tak akan mencoba kabur dan lebih memilih bersama kakaknya sampai akhir dalam menghadapi ajal mereka.
 
Arghh…kenapa ia tidak mati bersama Gama saja sih? Daripada harus mati sendirian begini??
 
Menyadari pergerakan dari belakang kepalanya, sosok itu perlahan berdiri, membuat Lizy semakin meringkuk ketakutan. Dia mencari-cari benda di sekitarnya yang dapat dijadikan alat pertahanan diri, Lizy memegang handphone-nya erat, tak ada lagi benda selain itu. Perlahan sosok berbaju hitam itu membalikkan badan, menatap Lizy dengan iris cokelat yang terlihat sendu. Handphone di genggaman Lizy jatuh seketika, berdebu keras di lantai. Cewek itu menelan salivanya kuat-kuat, ia tercekat.
 
“Ra-Raga..? Sedang apa kamu di—“
 
Lizy membungkan mulutnya dengan kedua tangan, menahan jeritan yang hampir saja melolong keluar. Tatapannya terpancang pada sesuatu yang di genggam oleh Ragas di tangan kanannya, sebuah bangkai kucing dengan leher yang tergorok.
 
 Perut Lizy bergejolak, ia mual setengah mati.
 
Ragas membalas tatapan jijik yang di layangkan Lizy dengan senyuman sedih, ia berjalan mendekat ke arah gadis albino itu.
 
Langkahnya terhenti ketika Lizy menjerit-jerit gila,  menyuruhnya menjauh.
 
“Kamu..lagi ngapain Raga..?” Lizy bertanya serak, ia menatap Ragas dengan tatapan seolah-olah cowok itu adalah seorang monster, monster paling berbahaya yang pernah ada.
 
Ragas kembali melangkah mendekat ke arah Lizy, sedangkan cewek itu semakin merapat ke dinding.
 
Yah…mulai sekarang dan seterusnya, jika diperlukan,
 
Ragas akan menjadi monster di hadapan Lizy.
 
“Kucing kamu…”
 
Ragas mengukir seringai kejam, Lizy gagal mengenali sosok di hadapannya.
 
“Berisik banget sih..”
~~~
 

La Lizyona (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang