Bagian 8

43 40 6
                                    

“Se..sejak kapan?”
 
“Sejak kapan apanya? Sejak kapan aku suka ngebunuh?”
 
Lizy meneguk ludah. “Ragas yang aku tau selama ini—“
 
“Pfft!!….”
 
Lizy bungkam, ucapannya terpotong oleh tawa Ragas yang menggelegar, tawa yang terkesan kosong. Lizymemandang cowok di depannya, ngeri. Bahkan tawa Ragas saat ini berubah menyeramkan di telinganya.
 
“Zy..”
 
Ragas mendekati Lizy, duduk di atas ranjang sambil berhadapan dengan cewek itu. Ragas mengulurkan tangan, menyentuh pipi Lizy.
 
“Kita baru pacaran dua tahun. Jangan berlagak seolah kamu udah tau semua tentang aku..” Ragas berbisik, Lizy semakin ketakutan. Ia menggigit bibir dalamnya. Tapi—
 
“Kamu bohong Ga..”
 
Ragas tertegun.
 
Apa-apaan??
 
Ragas memalingkan wajah, tak ingin menatap ekspresi sedih yang dipancarkan cewek di depannya. Ia tidak boleh goyah, ia harus menjadi monster.
 
“Dua tahun bukan waktu yang singkat Raga. Dari tatapan kamu aja aku tau kalau kamu lagi bohong atau nyembunyiin sesuatu.” Lizy mengulurkan tangan, ia berusaha menyentuh Ragas, cowok itu refleks menepis tangannya kasar.
 
Giliran Lizy yang tertegun, Ragas tak pernah—
 
“Jangan sok tahu.” Ragas meneguk ludahnya susah payah, ia melirik cewek di sampingnya ragu-ragu, mengutuk diri sendiri ketika menyadari jika Lizy tambah murung. Bahkan mungkin cewek itu sebentar lagi akan menangis, terlihat dari bahunya yang bergerak naik turun.
 
“Maaf..” cicit Ragas, ia tak bermaksud untuk— ah sudahlah. Semuanya terasa semakin rumit.
 
“Gapapa..” Lizy mengusap sudut matanya, memaksa bibirnya membentuk lengkungan. “Akunya aja yang terlalu sensitif belakangan ini.”
 
Ragas menelan ludah, ia berdiri, memungut bangkai kucing serta pisau yang sempat ia letakkan, melirik Lizy yang balas menatapnya ketakutan. Cewek itu berusaha keras menutupi ketakutannya dengan tetap setia memasang senyum samar.
 
“Aku..pergi dulu.”
 
Ragas yang hendak melangkah kembali mengurungkan niat saat merasakan tarikan di ujung jaketnya,
 
“Aku..nggak takut sama kamu. Aku juga.. nggak jijik kok. Selama kamu janji nggak bakalan bunuh aku, aku bakalan terima kamu apa adanya. Jadi Raga…”
 
Lizy mendongak, menatap punggung Raga dengan air mata yang sudah mengalir deras di pipi.
 
“Kamu..jangan tinggalin aku ya?” Lizy memohon serak, ia benar-benar putus asa.
 
Dari novel yang sering ia baca, biasanya ketika karakter perempuan akhirnya mengetahui sisi lain dari karakter laki-laki seperti sisi psychopath atau sisi sadisnya, sang laki-laki akan memilih meninggalkan si perempuan dengan dalih untuk kebaikan si perempuan itu sendiri.
 
Tapi, tak akan ada hal baik bagi Lizy jika Ragas meninggalkannya…
 
Ragas, cowok itu telah menjadi satu-satunya cahaya dalam hidupnya yang gelap gulita. Salju pertama setelah musim panas, oase di tengah padang pasir, tempat berlabuh kapal milik Lizy sebelum kembali menantang ombak kehidupan. Selama dua tahun terakhir, walau awalnya Ragas yang memaksa masuk ke dalam kehidupannya, tak dapat Lizy pungkiri jika sekarang cowok itu sendiri yang memutuskan pergi meninggalkannya, Lizy benar-benar akan hancur.
 
Lizy sudah sepenuhnya bergantung pada Ragas. Tanpa Ragas, cewek itu akan hilang dari peradaban.
 
Jadi jangan salahkan Lizy jika cewek itu tetap mempertahankan Ragas walau ia sendiri tau jika Ragas kapan saja dapat melukainya..
 
Atau bahkan membunuhnya..
 
Demi Tuhan, Lizy lebih memilih mati di tangan Ragas daripada di tangan takdir..
 
Katakan saja Lizy gila, tapi itulah gambaran seberapa penting Ragas dalam hidupnya. Walau Lizy seringkali bersikap cuek, Ragas sendiri tahu jika ia adalah seseorang yang susah berekspresi. Dan cowok itu tak tahu saja, dengan satu kata perpisahan darinya, sanggup membuat Lizy berpikir bahwa bunuh diri adalah hal yang rasional.
 
Ragas menghembuskan napas, berbalik dan mengacak puncak kepala Lizy dengan tangan bebasnya.
 
“Aku nggak bakalan pernah mutusin kamu Zy.. hubungan kita nggak akan berakhir kecuali kamu sendiri yang mengakhirinya. Ah, dan juga…” Ragas menunduk, menyejarkan tingginya dengan Lizy, mencubit pipi gadis di depannya. “Kayaknya permintaan untuk nggak bunuh kamu itu susah buat aku wujudin dehh..soalnya sekarang aja aku pengen banget gigit kamu sampe mati trus aku jadiin pajangan di kam—ADUHH!!”
 
Ragas mengusap bekas cubitan Lizy di pinggangnya, meringis, gadis itu sepertinya mengerahkan seluruh tenaga saat mencubitnya tadi, pinggangnya sudah pasti membiru.
 
“Aku.. nggak mau di jadiin pajangan..” Lizy mencicit.
 
Astaga!!
 
Ragas memalingkan wajah, berjalan menjauh ke sudut kamar, membungkuk, mengatur napasnya. Kalau saja pengendalian dirinya tidak baik, sudah pasti ia akan langsung menerkam cewek di depannya ini.
 
Selesai menenangkan diri, Ragas berjalan menuju jendela-tempat masuknya tadi.
 
“Oh ya, aku tadi ke kamar kamu buat mastiin kalau kamu baik-baik aja dan sampe dengan selamat..”
 
“Kan kamu punya ponsel Ga, kenapa nggak ngehubungin lewat itu aja?” Lizy memiringkan kepalanya, bertanya bingung. Sedetik cewek itu memalingkan tatapan saat retinanya lagi-lagi menangkap keberadaan bangkai kucing yang bergelantungan di tangan Ragas.
 
“Gapapa, aku mau mastiin langsung aja. Sekarang ponsel banyak hoax nya sih.”
 
Apa hubungannya Tuan Ragas Detroya!??
 
“Tapi, Ga..”
 
Ragas kembali menghentikan gerakannya memanjat jendela, menoleh menatap Lizy. Gadis itu berdiri dari ranjang, menatap Ragas dengan pandangan bingung.
 
“Kenapa baju aku banyak bercak darahnya?”
 
Glek.
 
“Oh, pas aku mau bunuh nih kucing, aku sempat ngelempar dia ke tembok sih…kecipratan mungkin.” Ragas mengedikkan bahu santai, Lizy mengangguk dengan ragu.
 
“Atau kamu lagi mens mungkin? Sekarang kan jadwal menstruasimu.. siapa tau tembus kan?”
 
Ragas ngakak ketika Lizy melemparinya dengan bantal, wajah cewek itu merah padam. Yah, Ragas memang tau kapan jadwal menstruasi Lizy, hari-hari di mana ia harus ekstra sabar menghadapi emosi pacarnya yang sangat tidak stabil. Disenggol dikit, dikiranya udah nggak sayang..dan kelakuan-kelakuan aneh lain yang berhasil membuat seorang Ragas Detroya pusing tujuh keliling.
 
Ragas melambaikan tangan sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Lizy.
~~~
Sementara itu, dari kejauhan..
 
Seseorang  bertudung hitam sejak tadi mengamati interaksi antara seorang laki-laki dengan perempuan biadab, pembawa sial, antagonis paling jahat dalam hidupnya.
 
 Laki-laki itu melepaskan tatapannya dari teropong di genggamannya, ia menyeringai.
 
Kehidupan perempuan itu sangat baik ya? Bahkan setelah berhasil membuat seorang anak 12 tahun kehilangan segalanya.
 
Ah, apakah aturan dunia selalu tidak adil seperti ini?
 
Laki-laki itu mengetuk-ngetuk kepalanya, berpikir. Karena perampok yang ia kirim waktu itu tidak berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, hal apalagi yang harus ia lakukan agar senyum serta tawa dari perempuan itu bisa lenyap selamanya ya?
 
Demi ibunya..
 
Ayahnya…
 
Kakak perempuannya…
 
Ia akan melakukan pembalasan dendam yang paling setimpal kepada perempuan itu. Bukan untuknya, tapi demi arwah-arwah korban kecelakaan yang 3 tahun ini gentayangan dan mengusik tidurnya setiap malam dengan jeritan-jeritan putus asa yang memilukan.
 
Demi arwah para korban yang setiap hari terisak-isak di telinganya…
 
laki-laki itu bersumpah, ia tidak akan mati sebelum seorang Agralia Marvenzy lenyap dengan tangannya sendiri.
 
Jika di perlukan, bahkan ia berani menantang malaikat maut.
 
Dendamnya tak akan pernah pudar bahkan jika ia sadar jika sisi kemanusiaannya semakin terkikis seiring berjalannya waktu. Ia benar-benar tak peduli..
 
Laki-laki itu melirik perempuan di sampingnya, perempuan bergaun biru tua dengan bercak darah di seluruh tubuh serta organ dalam mencuat keluar. Ia ikut tersenyum tulus saat perempuan di sampingnya tersenyum kepadanya. Perlahan perempuan itu menghilang, tersapu angin.
 
“Aku, bakal balasin semua rasa sakit kalian..”
 

La Lizyona (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang