Kantin di sudut Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dipenuhi oleh mahasiswa yang secara bergantian mengisi kursi kosong. Semester genap sudah dimulai. Angkatan baru sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan, sementara angkatan lama yang berada di semester akhir mulai bertarung dengan problematika mahasiswa sesungguhnya; skripsi.
Pengerjaan skripsi merupakan kegiatan paling memusingkan bagi mahasiswa tingkat akhir. Dimulai dari mencari masalah yang hendak dikaji disertai penolakan-penolakan dari pihak jurusan yang tentunya membuat sakit kepala. Rambut yang dulunya lurus rapi serta wangi, bisa menjadi keriting acak dan apek karena stres memikirkan tugas akhir tersebut.
Hal itu juga dialami oleh tiga sekawan yang duduk di bagian tengah kantin. Di hadapan mereka masing-masing telah tersaji tiga botol minuman dingin, dengan serakan berkas-berkas yang penuh coretan.
"Gila, ya, ini kali ke sepuluh proposalku dicoret di tempat yang sama. Maunya si Bapak apa,sih? Kenapa juga harus ada yang namanya skripsi? Kenapa nggak sekedar tugas akhir kayak semester-semester biaranya?" keluh Nuha berentetan.
"Itu tandanya kamu emang nggak benar nulisnya. Pembahasan yang kamu cantumkan nggak berkaitan dengan paragraf sebelumnya," sahut adik kembarnya, Nura.
"Kamu harusnya bersyukur yang dicoret itu isi proposal. Sementara aku, judul aja masih mikir," celetuk perempuan berambut keriting warna cokelat, Chessy.
"Itu berarti ada kesalahan dalam pikiranmu," respons Nura sambil cekikikan.
Memasang tampang kesal, Chessy menyahut, "Kamu berniat bilang otak aku error? Tunggu aja nanti kalau aku bisa mendapat permasalahan yang bagus untuk dikaji. Aku akan menjadi orang yang pertama sidang diantara kita bertiga."
"Judul aja belum punya, gimana mau sidang, Ches? Jangan mikir jauh, mikir judul aja dulu," jawab Nuha.
Chessy memutar bola mata dengan malas. Ia meletakkan dagu di atas lengan yang terlipat di meja.
Mereka bertiga sudah berteman sejak awal masa orientasi. Berawal dari pembagian tim yang sama hingga cara komunikasi yang membuat mereka akrab satu sama lain. Pun, mereka sama-sama bergelut dalam organisasi kampus, sehingga siapa saja tahu bahwa mereka bagaikan putri kembar tiga.
"Dalam kepalamu, apa masalah yang rencana ingin kamu kaji?" tanya Nura.
"Terlalu banyak masalah dalam kepalaku, sampai aku nggak tau mau kaji yang mana."
"Kamu pilah-pilah dengan baik, deh. Kamu buat list semua ide kamu. Terus, kamu ajukan satu per satu," saran Nuha.
Nura mengangguk setuju. "Kamu dari awal cuma punya ide, tapi nggak pernah kamu ajukan. Mana bisa kamu seminar proposal kalau begitu caranya. Mana bisa kamu sidang lebih awal dibanding kami."
Mendengar dirinya diremehkan secara tidak langsung, ia memukul meja dengan kepalan yang kuat hingga mengagetkan kedua temannya, serta empat sekawan yang lewat di sampingnya.
"Apa kamu harus membuat keributan saat aku lewat? Kamu bermasalah aku jalan di samping mejamu?" tanya perempuan bertubuh ramping sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Ya, maaf, aku nggak tahu kamu lewat," balas Chessy seadanya dengan mata yang tidak melihat lawan bicara.
"Dasar, perempuan sejenis!" desis perempuan bersurai panjang tersebut.
"Ghania, jaga omongan kamu. Nggak ada berhentinya mulutmu itu ngatain Chessy." Kali ini Nuha mengambil alih pembelaan terhadap Chessy. Ia tidak terima sahabatnya dikatakan demikian.
Memang, hubungan antara Chessy dan Ghania tidak akur sejak awal mula mereka menjadi bagian dari Universitas ini. Ghania, yang kala masa orientasi hadir telat mendapat hukuman dari senior selama sehari menjadi pesuruh Chessy-si mahasiswi baru yang paling rajin dan penurut pada senior. Chessy pun mendalami perannya dengan meminta tolong Ghania dalam hal apa pun; mengambil makanan, membawakan tas, bahkan mengikat tali sepatu. Bukan karena ingin hati Chessy melakukan itu, tapi jika ia tidak berlaku demikian, maka hukuman itu akan dialihkan padanya. Kejam memang. Namun, ia tetap harus menjaga diri dari yang namanya hukuman. Hukuman merupakan hal yang paling dibencinya. Karena saat ia mendapat hukuman, itu pertanda ia melakukan kesalahan dalam hidup, dan hal tersebut berpengaruh bagi dirinya yang menerapkan kedisiplinan hidup dengan menghindari berbuat salah.
"Memangnya omongan aku salah? Teman kalian satu ini emang sukanya sesama jenis. Atau, jangan-jangan dia sukanya dengan salah satu antara kalian berdua? Ups, apa kalian menjalin hubungan diam-diam?" tuduh Ghania dengan senyum sarkas yang ditutup dengan tiga jari.
"Kelewatan banget kamu, Ghan. Nggak ngotak cara ngomong kamu!" Nuha tersulut emosi mendengar tuduhan tak berdasar tersebut.
Ghania memang keterlaluan. Hanya karena rasa sakit hatinya terhadap Chessy seharian itu, ia mulai menyebar fitnah tentang Chessy. Mulai dari wanita penggoda, hingga perempuan sejenis. Di mata Ghania, Chessy dekat dengan lelaki hanya untuk menutupi kondisinya sebagai perempuan penyuka sesama jenis. Tidak ada seorang pun yang melihat atau mendengar tentang Chessy menjalin hubungan dengan lelaki lebih dari sekadar teman.
"Kalian itu ngebela dia kayak ngebela pacar, lho. Kalian jalin hubungan segitiga ya?" Ghania berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Semoga hubungan kalian awet ya," sambungnya.
Nura tidak terima dengan omongan Ghania yang dirasa sudah kelewat batas. Ia mengangkat tangan hendak melayangkannya ke wajah perempuan tidak bertata krama tersebut. Akan tetapi, dehaman seorang lelaki jangkung menghentikan niatnya. Tangan yang teracung kini perlahan turun kembali ke bawah.
"Apa itu yang kalian pelajari di kampus ini?"
Arshaka, seorang asisten dosen yang bisa membuat perempuan terkesima dengan paras tampannya, tapi dalam sekejap bisa membuat mereka kesal karena sikap dinginnya.
"Pak, Chessy yang terlebih dahulu membentakkan meja saat aku berjalan di sampingnya. Dia selalu saja mencari gara-gara," ucap Ghania dengan eskpresi memelas.
Siapa yang tidak tahu tentang Ghania yang menyukai Arshaka? Ia terlalu mengelukan lelaki blasteran tersebut. Mulut kejamnya akan berubah manis hanya dengan adanya Arshaka di sekelilingnya.
"Aku tidak peduli urusan kalian. Ini kampus. Jika punya masalah, selesaikan di luar." Arshaka meninggalkan mereka dalam suasana tegang. Ia tidak suka kebisingan yang suara-suara melengking dan saling bersahut-sahutan. Baginya, itu terlalu kekanak-kanakan. Inilah sebabnya ia tidak suka suasana kantin. Selalu ada saja yang membuat keributan, entah itu tawa yang menggelegar, atau pun seperti kejadian barusan; perdebatan yang tidak bermanfaat.
Chessy mendecih. "Yang bilang ini urusan dia siapa? Dasar lelaki arogan!"
"Kamu mengatai Pak Arshaka?" todong Ghania tidak terima dengan mata melototnya.
"O ow, aku lupa, dia lelaki yang kamu kejar tapi nggak pernah ngerespons ya? Kasihan. Punya hati tapi nggak terbalas. Kejar, gih, mumpung belum jauh," ledek Chessy yang disahut tawa Nuha dan Nura.
Tidak ingin menambah sakit kepala dengan menghadapi perempuan obsesif tersebut, Chessy dan kedua temannya segera angkat kaki dari kantin, membiarkan Ghania kesal dengan celetukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Dare to Love
RomansaEND 🍁Romance🍁 Chessy, mahasiswi yang dituding sebagai "Perempuan Sejenis" oleh teman sekampusnya ditantang untuk mendapatkan hati Arshaka sebagai bukti bahwa ia adalah perempuan normal. Mendekati Arshaka bukan hal yang mudah sebab ia seorang asist...