14 - seharusnya dia berbahagia, tetapi nyatanya ada ketakutan yang dirasakan

286 43 2
                                    

"Kamu kenapa, Wooyoung?" Pertanyaan Seonghwa itu membuat Wooyoung menoleh. Melihat lelaki yang lebih tua darinya menatapnya dengan keheranan.

"Enggak apa-apa."

"Oh, aku pikir kamu bertengkar dengan Changbin," perkataan Seonghwa yang jelas tidak menyindir—karena sejujurnya Wooyoung ragu bahkan lelaki itu bisa melakukannya—membuatnya terdiam.

Karena sebenarnya perkataan Seonghwa tidaklah salah. Changbin dan Wooyoung sudah berpacaran selama sebulan belakangan. Semua orang tahu hal ini karena Changbin adalah salah satu orang yang populer di sekolahnya. Apalagi mereka selalu terlihat bersama kemana pun yang rasanya hanya orang buta yang tidak menyadari kalau ada sesuatu yang spesial antara Changbin dan Wooyoung.

Masalahnya....

"Oh, hai Yeosang." Sapaan kasual Seonghwa membuat lamuman Wooyoung buyar dan menyadari bahwa Yeosang duduk semeja dengan mereka untuk makan siang. "Tumben mau ke kantin? Biasanya memilih makan bekal di kelas."

Hal yang membuat Wooyoung menahan diri untuk tidak meringis, karena rasanya sikap mereka yang terbalik. Wooyoung yang tidak mau membawa bekal ke sekolah dengan alasan tidak bisa bergaul dengan teman-temannya—padahal alasan sebenarnya karena merasa malu usianya sudah remaja masih membawa bekal seperti anak SD—sementara Yeosang yang dulu selalu makan di kantin, sekarang terus membawa bekal dari rumah.

Spesifiknya, bekal yang dibuat oleh Ibunya Wooyoung karena bukan rahasia kalau Ibunya Yeosang tidak bisa memasak sama sekali.

Atau mungkin sebenarnya bisa, tetapi Ibunya Yeosang lebih memilih untuk tidak melakukannya karena tidak mau merusak hiasan kukunya yang tidak ingin Wooyoung tahu harganya.

"Banyak pengganggu," sahut Yeosang seadanya dan ternyata dia membawa kotak bekal bersamanya, "kalian tidak makan?"

"Sedang menunggu pesanannya selesai dibuat, Yeosang." Tentu yang menjawab dengan suasana hati yang baik itu Seonghwa, karena belakangan Wooyoung berlatih untuk tidak terlalu menunjukkan emosinya begitu gamblang.

"Oh."

Yeosang memang terkenal tidak peduli dengan sekitarnya, tetapi berbeda cerita kalau sudah menyangkut Wooyoung. Namun, belakangan Yeosang terlihat mulai tidak peduli dengan Wooyoung yang sejujurnya membuat lelaki itu merasa kehilangan. Tentu Wooyoung tidak akan mengatakannya karena sedang dalam masa mengontrol emosinya dalam bereaksi dan biasanya Yeosang yang akan menghampirinya kalau merasa ditinggalkan olehnya.

Namun, sampai waktu istirahat berakhir, Yeosang tidak mengatakan apa pun kepada Wooyoung. Bahkan saat di kelas, Yeosang seolah sibuk dengan dunianya sendiri dan tampak tidak apa-apa meski Wooyoung bukan menjadi teman sebangku lelaki itu lagi. Padahal sejak pertama kali bertemu sampai dua minggu yang lalu, mereka selalu bersama hingga di level menjadi teman sebangku.

Seharusnya, Wooyoung merasa tenang bahwa Yeosang bisa tanpannya. Kenyataannya, ada gemuruh yang tidak familiar yang muncul pada diri Wooyoung dan membuat pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan tentang hubungannya dengan Yeosang. Rasanya Wooyoung tidak rela jika dirinya bisa digantikan oleh orang lain dikehidupan Yeosang.

Wooyoung menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pemikiran egois tersebut dan berusaha untuk fokus untuk mendengarkan penjelasan guru di depan. Namun, nyatanya kepalanya tidak mau bekerja sama dan justru Wooyoung sekarang sudah tidak melihat guru serta mendengarkan suaranya. Digantikan oleh gelap sesaat, lalu kemudian melihat Yeosang yang berbicara dengan seseorang dan tertawa pelan. Tawa yang sama kalau Wooyoung berusaha melucu di depan Yeosang dengan humor yang sebenarnya tidak pernah dianggapnya lucu, tetapi selalu sukses membuatnya tertawa.

Ada rasa sesak yang menjalar dan rasanya Wooyoung ingin melangkah mendekati Yeosang serta orang yang tidak kenalinya—sial, wajahnya tidak bisa dilihatnya dengan jelas—yang membuatnya merasa kesal. Lalu tersadar, Wooyoung tidak bisa menggerakkan kakinya dan saat memaki karena bisa-bisanya seperti itu, dia juga tidak bisa mendengar suaranya sendiri. Wooyoung tidak ingat kapan dirinya merasa benar-benar takut, tetapi jelas di momen itu dirinya merasakannya. Meski berteriak sekuat tenaganya, tidak ada yang terdengar dan itu membuatnya frustrasi.

Tubuhnya bergetar dan matanya mulai memburam. Berusaha memanggil Yeosang, tetapi tidak dipedulikan karena dia tidak mendengarnya. Lalu Wooyoung melihat Yeosang yang bergandengan tangan dengan lelaki yang wajahnya masih tidak bisa dilihatnya dengan jelas. Semakin lama semakin menjauh dari Wooyoung dan rasa sesaknya tidak bisa dijelaskan.

Namun, tiba-tiba Yeosang berhenti melangkah, menoleh ke arah Wooyoung dan menatapnya cukup lama. Wooyoung tidak tahu apa yang dikatakan oleh Yeosang karena pandangannya memburam karena air matanya dan getaran di tubuhnya yang semakin tidak terkendali. Saat kemudian Wooyoung bisa menarik napas, dia terkesiap karena membuka matanya dan menyadari sudah tidak berada di kelas, dikursinya.

Aroma ruangan ini familiar. Sepertinya Wooyoung berada....

"Wooyoung." Suara itu membuat Wooyoung terlonjak, kemudian dengan takut-takut menoleh ke asal suara dan melihat Yeosang menatapnya dengan khawatir sekaligus ketakutan. Wooyoung tidak pernah melihat tatapan itu sebelumnya dari Yeosang dan seharusnya, bukankah itu tatapannya sekarang kepada lelaki itu?

"Yeo..." Wooyoung memanggil Yeosang dengan parau. "Yeosang."

"Aku di sini."

Wooyoung bisa melihat Yeosang yang menatapnya dan sebelah tangannya terulur ke wajahnya, tetapi kemudian terhenti di udara, saat jaraknya hanya tinggal sejengkal. Ada ragu dan Wooyoung menarik tangan Yeosang untuk menangkup pipi sebalah kanannya. Memejamkan mata—dengan terlalu kuat—karena tidak ingin melihat wajah Yeosang sebagai reaksi perbuatannya yang impulsif.

Debaran jatungnya tidak beraturan, tetapi Wooyoung berpikir karena baru terbangun dari mimpi buruknya. Namun, kepalanya tidak semudah itu membuat Wooyoung menyakini pemikirannya itu, karena justru sekarang dia memikirkan hal yang paling tidak mungkin terjadi kepada mereka. Teringat kutipan fanfiksi romansa angst yang dibacanya dua tahun yang lalu, saat pertama kali menemukan website fanfiksi gratis di internet.


"Kamu tahu kenapa tato takdir pengikat kita adalah 'in every fear lays love'? Karena setiap ketakutanku yang berhubungan tentangmu membuatku tersadar betapa dalamnya aku mencintaimu! I'm hopelessly falling to you when I know you never see me even at once!"

Bass | YeowooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang