__________________Tahun 1971
Sore itu, sebuah kapal dagang antar pulau berjalan pelan merambati permukaan laut kepulauan Formosa. Kapal itu berjalan pelan seakan tiada apapun yang harus di kejar dengan tergesa-gesa. Cat lambung-nya yang putih sangat kontras dengan suasana yang saat itu menyelimuti segenap kapal dan penumpangnya. Sangat suram dan gelap. Seakan belum cukup dengan kesialan yang sedang dihadapi oleh si besi ajaib itu, alam pun ikut menyumbang sedikit temaram untuk menambah suasana dramatis bagi siapapun yang melihat dan merasakannya.
Mendung bergulung saling tikung. Ombak ber-riak pertanda sebentar lagi akan bergejolak. Entah siapa yang akan mulai duluan, sang mendung atau sang gelombang, pada saat yang sudah ditakdirkan mereka akan berlomba menyongsong kapal malang itu untuk mematahkan kesombongan manusia penciptanya. Julukan "Besi ajaib" yang bisa mengapung di lautan sebentar lagi akan mengenapi kodratnya sebagai besi yang memang seharusnya tenggelam menjadi terumbu karang.
Lambung kapal itu sekarang sudah menjadi agak miring tertungging. Tulisan KMS Meliwis di lambungnya sudah hampir separuh tenggelam. Para awak sibuk berlarian, teriakan perintah saling bersahutan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa semua itu tak perlu dilakukan karena sudah terlambat, tetapi demi sesuatu yang di sebut profesionalitas, hal sia sia itu tetap dilakukan seakan keadaan akan berubah hanya dengan teriakan dan makian.
Di sebuah ruangan, di kabin penumpang, seorang pria berusia 20-an tahun sedang memandang jendela seberang dengan tatapan kosong. Pandangan itu sangat lekat sehingga apabila ada lalat hinggap di biji matanya, dia tidak akan jua berkedip.
Disampingnya, ada seorang pria yang tak jauh beda usianya. Tampak dia sedang ber komat-kamit. Bibirnya yang sedikit lebih tebal dari manusia asia lainnya menambah kesan bahwa dia tidak sedang berdoa, tapi sedang berteriak penuh kejengkelan. Dan tentu saja dia tidak sedang komat kamit berdoa."Jon, Jono !" Teriak si bibir tebal kepada temannya yang sedari tadi mematung. Kejengkelan di dadanya memuncak. Dan benar benar naik ke puncak kerongkongan lalu berkumpul di otak hingga kepalanya penuh kemarahan yang mendorong matanya melotot sedemikian rupa hingga mau lepas.
Ceplak!
Tamparan keras dari si bibir tebal menyadarkan Jono dari linglung nya.
"Yo wis lah Ron, iki pancen wes takdir ku. Umpomo mati saiki yo siap. Opo maneh sing tak arep ne neng dunyo iki"
("Sudah lah Ron, ini memang takdir ku. Seandainya saya meninggal sekarang pun siap, apa lagi yang saya harapkan didunia ini")
Jawab Jono tanpa ekspresi. Pandangannya tetap pada titik yang sama sejak ber jam-jam yang lalu."Semua orang sudah di anjungan sekoci, bajingan!" Balas Jamroni, sahabatnya, yang sedang berusaha menyeret Jono bangkit dari kursi-takdir-pilihannya sendiri.
Segala prosedur penyelamatan darurat sudah di laksanakan sejak beberapa jam lalu. Semua penumpang maupun awak kapal sudah menempati posisi yang ditentukan untuk menunggu perintah selanjutnya. Tinggal Jono dan Zamroni yang masih berisik di balik palka yeng terkunci. Sementara selusin awak petugas sweeping berjejal di balik pintu sambil bergantian memantau kondisi dua orang yang sedang kehilangan fungsi otaknya disaat yang tidak tepat.
"Dobrak Pak No!" Perintah salah seorang awak.
"Dobrak matamu, Ji. Ini besi bukan peyek." Timpal seorang awak disebelah Aji yang tak terima diberi perintah konyol oleh bocah titipan.
Sementara di luar ruangan terjadi keributan saling debat perbedaan besi dan peyek, di dalam ruangan pun juga terjadi keributan yang tak kalah seru dan semakin seru.
"Lepaskan,Ron. Ini urusanku." Teriak Jono semakin kukuh mempertahankan posisinya.
Baju Jono yang awalnya sudah lusuh, sekarang menjadi compang camping, robek sana-sini tak karuan.
