"Ehm, Tung. Rumahmu bagus ya. Nanti kalau mau di dandani lagi, disitu, di pojokan situ ditaruh kolam renang saja biar tambah asri."Mbah Kaseri mencoba memecah keheningan yang mematikan diantara kedua musuh bebuyutan itu. Sejak maghrib tadi hingga kumandang isak berlalu, mereka berdua hanya duduk saling diam. Mungkin kalau suasana dingin seperti itu bertahan sampai subuh, bisa jadi akan berlanjut menjadi baku hantam. Karena suasana sedingin itu tidak jua mendinginkan hati masing-masing pihak. Malah semakin lama semakin mendidih.
"Apalagi saya lihat-lihat pojokan itu yang paling angker. Seperti pernah dihuni sebangsa jin." Tukas Mbah Kaseri seakan akan dia tau segalanya tentang dunia makhluk astral. Dia menunjuk pojokan reruntuhan yang paling parah rupa dan bentuknya karena terpapar api.
"Dan saya juga merasakan kalau tempat itu juga terkutuk. Apa kamu tidak per......."
"Itu bekas kamarku!" Potong Pak Untung dingin.
Glek!
Mbah Kaseri menelan ludah. Dia hanya ingin mencairkan suasana, tidak bermaksud menyinggung perasan tuan rumah, atau tepatnya tuan reruntuhan. Karena kondisi tempat tinggal Pak Untung sudah tidak bisa disebut sebagai rumah.
Suasana yang hampir mencair kini semakin beku. Ada yang salah dengan mulut si Mbah Kaseri ini. Setiap ucapannya seakan-akan menandung penyakit yang bisa menyakiti hati siapapun yang diajak bicara.
"Apa tujuan mu kemari." Kali ini Pak Untung yang memulai pembicaraan.
"Oh ya, saya lupa tadi bawakan kopi buat kamu. Saya bawa termos Tung. Made in china lo Tung." Tanpa memperdulikan pertanyaan Pak Untung, Mbah Kaseri malah mengaduk - aduk buntelan tas keresek merah besar yang sengaja dibawanya dari rumah.
"Kenapa kamu kemari!" Pak Untung menegaskan pertanyaannya dengan pelototan mata. Menunjukkan bahwa dia, saat ini, tidak bisa diajak main-main.
"Nga.. nganu.. ini termos made in china nya. Boleh kamu ambil kok Tung. Kasihan kamu nanti tak bisa menyimpan kopi." Ujar Mbah Kaseri gelagapan, sambil menyodorkan termos berisi kopinya kepada Pak Untung.
Prak...!
Pak Untung menampik termos merah bermotif bunga itu hingga jatuh menggelinding dan retak. Dari retakannya meneteskan kopi panas yang menggoda siapapun yang menghirup harumnya jika tak berada di situasi menegangkan seperti ini.
"Apa maumu bajingan!" Bentak Pak Untung yang sudah habis kesabarannya.
Si kakek yang masih pantas dipanggil bapak itu menunduk. Dalam diam dia merapatkan kelopak mata untuk menahan setitik air mata karena kesedihan dihatinya.Sekian menit berlalu dengan diam yang sama seperti menit menit sebelumnya hingga, Mbah Kaseri menghela nafas panjang lalu menatap garang tepat di bola mata Pak Untung.
"Untung, ini perbuatan siapa."
"Apa maksudmu?" Jawab Pak Untung masih meraba inti dari pertanyaan yang memang mempunyai banyak cabang jawaban itu.
"Apa ini perbuatan orang-orang protokol-91?"
Desak Mbah Kaseri langsung pada intinya.Pak Untung tercekat. Tak menyangka bahwa sekian tahun memendam dan berusaha melupakan nama sakral itu, kini muncul kembali lewat mulut seorang Kaseri.
"Kau jangan ngawur Kaseri. Tiadak ada hubu..."
Brak!
Meja satu-satunya yang berhasil selamat dari musibah, walaupun dua kakinya harus direkatkan dengan lakban seadanya, kini hancur berkeping-keping oleh hantaman kepalan tangan Mbah Kaseri."Kita berada di pihak yang sama! Aku bukan musuh mu!" Bentak Mbah kaseri. Bentakan itu lantang membahana hingga menggema mengisi seluruh sudut ruangan, membuat bocah-bocah pencari kodok lari terbirit-birit tak jauh dari reruntuhan rumah megah itu.
