Bab 6 : Senja

3 2 0
                                    


Sore menjelang maghrib adalah pantangan waktu untuk melaut disekitaran desa Poh Gede. Sebuah desa nelayan yang letaknya di kabupaten sebelah. Mungkin bagi mereka pantangan itu sangat berlaku, tapi beda bagi Pak Hanapi. Dia memandang pantangan itu hanya mitos yang perlu pembuktian jika ingin dipercaya. Tetua kampung bilang untuk tidak berangkat atau pulang melaut pada waktu menjelang maghrib itu. Kalaupun sudah berada dilaut sejak sebelum Terbenamnya matahari, hendaknya tetap di posisi, jangan berpindah lagi, atau membuat suara berisik. Menunggu lingsir nya matahari yang sebagian besar orang Jawa menyebutnya Candikala.

Tahun itu adalah tahun yang tak menentu. Pergantian milenium kemarin menjadi tonggak sejarah sekaligus menjadi awal dimulainya tahun-tahun sulit penuh sengkala. Bahkan, beberapa tahun menjelang pergantian abad itu sudah disemarakkan dengan berbagai tragedi, peristiwa dan huru-hara. Tahun 1998 adalah tahun terberat bagi Pak Hanapi karena harus kehilangan banyak kemuliaan hidup. Anak yang dihilangkan oleh rezim, istri yang rak berumur panjang menyusul sang anak, serta perbedaan etnisnya membuat banyak masalah saat itu. Nama Hanapi pun dipilihnya setelah dia menjadi muallaf, dan dengan berat hati menghilangkan nama keluarga "Shuzhang" nya.

Hingga saat ini pun Pak Hanapi masih hidup di awah garis kemiskinan. Hanya perahu oglok (disel) miliknya yang masih setia menghidupinya.
Maka, dia memutuskan melaut saja. Tak perduli dengan candikala atau kutukan. Yang penting dapat uang, dia pun senang.

Tampar(tali) pengikat sudah terlepas dari tiang tambat. Dayung darurat tak lupa diikutkan serta.  Bekal makanan seadanya sudah siap. Segala keperluan melaut sudah pepak tanpa satu pun ketinggalan. Bersamaan dengan candikala kuning berangsur menjadi merah, Pak Hanapi beserta dua rekannya memacu kapal ikannya yang meraung raung dengan kasar.

Pak Hanapi menyulut tembakau di dalam kabin seadanya yang terbuat dari bambu beratapkan terpal. Sementara dua rekannya hanya duduk berhimpitan di pojok ruangan. Tak ada selera apapun yang menggelayuti pikiran mereka. Hanya doa doa yang mengalun lirih mengiringi ketakutan mereka berdua akan waktu senja.

"Maaf Din, Man. Tapi ini sangat mendesak. Kebetulan juga malam ini akan ada panen cacing laut sama cumi." Hanapi membuka percakapan.

"Tapi apa tidak bisa agak malam? Nunggu candikala lewat dulu. Gak ilok (pamali) kang." Sahut Udin tak acuh.

"Kalau begini lagi saya akan cari perahu lain saja, yang bisa diajak mikir lebih nalar." Timpal Suman.

"Lo, ini yang lebih nalar. Candikala di langit, kita dilaut, gak ada hubungannya. Apa dia mau turun lalu mengutuk kita. Jangan percaya gugon tuhon seperti itu."

Percakapan berlanjut menjadi debat. Tak sadar perahu yang mereka tumpangi sudah jauh terlihat di cakrawala. Candikala yang semula merah pun menjadi lebih temaram. Se pengisapan rokok mereka akan segera memasuki waktu candikala darah.

Wung...!

Bunyi seperti denging di telinga disertai angin yang melintas keras mereka rasakan bersama-sama, menghentikan debat kusir yang tak ada habisnya.

"Owalah Gustiii." Pekik Suman membekapkan tumpukan jaring ke kepalanya.

"Hahaha. Man, Man.. kamu ini." Hanapi tertawa terbahak-bahak mendapati kedua temannya memucat tanpa alasan.

"Kalau yang kalian takutkan Kapal Hantu itu, tenang saja. Hanya orang beruntung yang bisa menemui mereka. Setelah itu kan kalian bisa kaya." Terang Hanapi seakan ia tahu segalanya.

"Munculnya pas bulan mati kang, bukan bulan purnama."

"Lha iya... sekarang kan bulan mati, tak ada bulan sama sekali "

"Lantas kalau ini bulan mati, kenapa kita melaut, panen cacing sama cumi kan cuma bulan purnama." Protes Udin semakin tidak sabaran.

"Hehehe..kalian tenang saja. Kalian juga akan ketiban rejeki." Mata Hanapi tiba-tiba menyorotkan kelicikan.

WarwijkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang