Tahun 1971
"Sial!"
Si pemuda mendapati dirinya sudah terikat di tali sebesar lengan balita. Dia sudah menolak ajakan para awak kapal Warwijk untuk segera bergabung. Dia lebih rela bernasib sial di antara ombak daripada harus naik ke kapal yang separuh penghuninya hanya tinggal tulang belulang.Sudah dua kali para awak melemparkan tali bersimpul kearah si pemuda, dua kali pula ia menolaknya.
Mungkin karena jengkel, salah satu awak yang hanya punya satu tangan melemparkan tali yang langsung membelit tubuhnya. Dengan sekuat tenaga, para awak bahu membahu menarik tali yang hampir menjerat leher si Pemuda. Sedikit demi sedikit tubuhnya terangkat dari permukaan air menuju lambung kapal. Begitu mendarat di geladak, si pemuda dibuat takjub dengan pemandangan yang tersaji dihadapannya.Bagaimana mungkin para awak yang badannya sudah tidak utuh masih bisa berdiri, menenggak pasir dari botol minuman yang alih alih masuk lambung, malah langsung bablas berserakan di lantai melewati rongga diantara tulang selakangan.
Bau dendeng ikan asin kadaluarsa tercium dari tubuh para awak. Mereka beraktivitas seakan mereka masih bagian dari dunia jasmani ini. Mereka masih melakukan kegiatan yang sangat mereka suka walaupun, apapun yang mereka asup toh juga akan bablas mengotori lantai geladak.
"Ba.. bagaimana kalian bisa berpura pura masih hidup?" Tanya si pemuda memberanikan diri.
Segenap kru yang mendengar pertanyaa itu langsung menoleh kearah si pemuda.
Salah satu awak yang menengok terlalu berlebihan malah menjatuhkan kepalanya tanpa sengaja.
Aneh nya lagi, awak yang ada di pojok tiang bendera ikut ikutan membalikkan badan juga. Padahal bagian anatomi yang masih bisa disebut sebagai kepala hanya tersisa rahang bawah saja. Tentu saja dia tak punya lubang telinga yang seharusnya bertengger di bagian rahang atas yang kini entah kemana.Setelah berbisik-bisik menggunakan bahasa belanda, salah satu awak yang dianggap paling menguasai bahasa melayu membalas dengan lantang.
"Kenapa kau sebut kami orang mati? Padahal kamu sendiri-lah yang saat ini sudah mati."
Gelak tawa pecah diantara semua kru yang ada. Si awak yang tinggal rahang bawah tadi juga ikut tertawa, karena terlihat dengan jelas rahang nya naik turun secara konstan hingga rahang yang menempel seadanya itu benar-benar terjatuh dan menjadi mainan awak lain yang memang sedikit jahil. Sempurna sudah, si awak malang tadi sekarang benar-benar menjadi si kepala buntung.Si pemuda tersenyum melihat tingkah laku para awak yang kekanak-kanakan. Dia mulai terbiasa dengan pemandangan ganjil tersebut. Entah sejak kapan dia kehilangan rasa takutnya, yang jelas, si pemuda merasa bahwa dia masih hidup berbaur dengan lingkungan yang normal.
Saking asyiknya dia memanjakan mata dengan opera komedi yang belum pernah dia saksikan seumur hidupnya, si pemuda tak sadar ada sepasang mata yang mengawasinya dengan nanar nun jauh di seberang dinding ombak.Aji menatap dengan trenyuh seseorang yang dia kenal barusan dari tepi teritis kapal. Walau hanya kenal namanya saja, tak menghalangi hantinya untuk bergetar merasakan getirnya menjemput maut di telan gelombang laut.
Aji sadar bahwa sebentar lagi gelombang yang menelan pemuda malang itu juga akan segera menerjang kapalnya. Tapi tak patut juga mendahului takdir denga cara menceburkan diri.
Aji menjadi saksi kebulatan tekat pemuda itu saat berlari menuju pinggiran geladak untuk melompat menjemput badai. Sesaat setelah bergulat dengan ombak, terdengar pekik pemuda itu."Tidak jadi,Oom."
Menit selanjutnya datang ombak besar meremas tubuh si pemuda, lalu menyeretnya kepusaran.
Pyas...!
Kini giliran kapal malang itu menuai murka sang alam.
Semua menjadi gelap di mata Aji.
Seluruh inderanya serasa tak berfungsi, kecuali bibirnya dengan lirih mengucap."Aku tahu namamu, ya, namamu adalah....."
______________________
.
.Tahun 2001
"Yakin mbah?" Tanya Bayu menegaskan apa yang sudah didengarnya.
"Haduh.. hah, hah, begini ceritanya..." Jawab Mbah Kaseri hendak memulai ceritanya kembali.
"Iya tahu, mbah. Tapi sampeyan yakin kalau asap itu berasal dari rumah Pak Untung?"
Potong Bayu yang tak mau mendengar Mbah Kaseri mengulangi cerita untuk yang kesekian kali."Tuh lihat sendiri.." tunjuk Mbah kaseri. "Situ rumahmu, yang ada di ujung jalan itu. nah asapnya ada disana, seberang sungai sana rumah siapa?"
"Rumah mu to Mbah." Jawab Bayu menebak.
"Jiabang bayik bocah iki! Ya rumah si Untung to, Le. Tobat!"
Bentak mbah Kaseri semakin jengkel.
"Ayo tak antar kesana!" Lanjutnya sambil memapah sepeda motor yang terparkir di sebelah tukang bakso."Tapi,Mbah..." Cegah Bayu menimbang-nimbang ada sesuatu yang salah.
"Gak usah tapi-tapi an, kalau gak mau tak tinggal wes!" Mbah Kaseri semakin tak sabar. Dia bersiap men-starter kuda besi itu.
"Tapi, itu sepeda motor ku, Mbah." Teriak Bayu begitu menyadari, sesuatu yang salah itu sumbernya dari mana.
"Lha iya, makanya cepat sini." Bentak Kakek yang dulu pernah menjadi preman terkenal itu.
"Lha, Adik ku piye mbah?"
"Titipkan bakul bakso dulu, atau bonceng tiga sekalian." Jawab si Kakek dengan enteng
"Idih, sori. Wegah." Timpal Lintang tak setuju.
"He, cepet, apinya keburu padam, nanti kamu nyesel lo ketinggalan keramaian." Mbah Kaseri sudah oper gigi satu, siap melaju. Bayu heran sejak kapan motor itu menyala. Dia meraba saku celananya. Ada yang tak beres lagi sepertinya.
______Di perjalanan.
Tiga orang berbeda jenis itu menaiki sepeda motor saling berhimpitan.
Yang paling belakang berjenis perempuan yaitu Lintang. Sepanjang jalan ia cemberut tak karuan.Barisan kedua dari belakang, berjenis laki-laki bernama Bayu. Sepanjang jalan dia meringis kesakitan. Menahan cubitan maut dari Lintang yang mengeluh kenapa dia harus punya abang yang tololnya tak ketulungan.
Barisan pertama, sang driver sekaligus sumber masalah, berjenis setan. Dia bersenandung ria memacu sepeda motor tanpa kira-kira. Bahkan jalan berlubang dan polisi tidur pun ia gasak juga.
"Bayu, kira-kira kamu nanti mau apa saat tiba dirumah si Untung?" Tanya Mbah Kaseri membuka percakapan.
"Gak ngerti mbah..." Jawab Bayu sedikit tak acuh. Dia masih sibuk menyelidik keganjilan yang dia rasakan sejak bertemu Mbah kaseri tadi hingga saat ini. Saat meraba saku, dia menemukan kunci sepeda motornya. Berarti si mbah bengek iki tidak mencuri kunci motornya. Seharusnya dia lega, tapi tidak. Masih ada sesuatu yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata.
Semakin dekat dengan lokasi tujuan, Bayu semakin lega. Pelan tapi pasti, Mbah Kaseri menerobos lapis demi lapis orang kampung yang berjejal seakan ada tontonan.
Gerbang rumah pak Untung sudah terlihat. Tapi sayang, gerbang setinggi tiga meter itu terkunci gembok. Sehingga orang yang berniat menolong hanya bisa berjejal tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara petugas pemadam kebakaran kantornya ada di kota, bersebelahan dengan sekolah Lintang. Butuh waktu agak lama untuk samapi di tempat kejadian perkara.Mbah segera menghentikan sepeda motor Bayu di dekat gerbang rumah nahas itu. Dengan sigap,Bayu merogoh saku celana ntuk menyerahkan kunci motornya.
Mbah Kaseri menolaknya. Malah dia melemparkan kunci cadangan berupa sendok makan kepada Bayu."Pakai ini juga bisa." Ucap mbah Kaseri sambil berlalu menuju kerumunan orang yang berkerumun di dekat mobil polisi.
Bayu mengamati benda yang ada ditangannya. Dalam batinnya berucap. "Oh ternyata pakai beginian juga bisa,toh."
Sesaat Bayu menyadari sesuatu, ia segera mengamati sepeda motornya dengan seksama. Lalu melotot ke orang yang bersangkutan dengan geram.
"Jiancuk, sepedaku di bandrek!"
(Brengsek, (lubang kunci) sepeda motorku di bobol)
