O5

630 76 10
                                    

Yeosang rasanya ingin menangis begitu melihat bayangan di cerminnya. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba. Hari dimana ia akan melepas status lajangnya. Terlebih lagi, bukan dengan orang yang ia cintai.

Ia mendongak ketika merasakan gejolak panas matanya, ia tidak boleh menangis. Ia tak ingin membuat penata rias kembali repot membenahi penampilannya. Ia harus kuat. Namun nampaknya hal itu sia-sia belaka, kala telapak tangannya menyentuh permukaan perut ratanya, air mata tak lagi dapat di bendung.

Yeosang ingin berteriak, ia ingin lampiaskan amarah pada siapa saja yang tega mengguratkan garis takdir miliknya sebegitu rumitnya. Mengapa rasanya tak ada satupun hal di dunia ini yang berjalan sesuai keinginannya. Jika kembali mengingat kejadian seminggu silam, rasanya Yeosang hanya akan semakin membenci pria yang telah memberikan kehidupan diperutnya. Apakah ajakan Yeosang untuk kabur dan memulai hidup bersama nampak bagai lelucon di mata pria itu? Hingga pada keesokan harinya Yeosang menemukan dirinya terbaring di atas ranjang di istana megah yang selama ini mengurungnya, padahal seingatnya malam itu ia tengah berada dalam dekapan hangat prianya. Apakah begini cara Jeong Yunho menolaknya dan bayi mereka?

Yeosang buru-buru menghapus air matanya kala pintu kamar terbuka, menampakkan sang ayah dengan senyum sumringah, berjalan mendekatinya. Tetapi senyum itu seketika sirna, digantikan dengan decakan kesal sang ayah ketika kedua beradu tatap.

"Kamu menangis lagi?" Yeosang hanya diam, membiarkan ayahnya meraih dagunya, membuat wajahnya terdongak menatap langsung pada wajah tegas pria paruh baya itu.

"Jangan mempermalukan ayah, Yeosang. Ini hari bahagia, kenapa kamu malah menangis seakan ayah akan mencabut nyawamu sebentar lagi?"

Bagi Yeosang di cabut nyawanya sekarang juga akan lebih baik di banding dengan mengikat hidup selamanya dengan orang yang tidak ia kenali. Ah benar juga, mengapa ia tidak terpikirkan dari jauh-jauh hari saja untuk segera mengakhiri hidup. Untuk saat ini, ide itu terdengar jauh lebih menjanjikan.

"Ayah akan memanggil penata rias dan kamu berhentilah menjadi cengeng, Kang Yeosang"

Dengan begitu pintu kembali tertutup, menyisakan Yeosang yang kembali berteman sunyi. Yeosang tak tahu apa yang membawanya beranjak dari depan cermin, ia berjalan menuju pintu balkon yang terbuka lebar. Semilir angin menerpa wajahnya, meniup surai pirangnya yang telah di tata rapi. Ada perasaan tenang begitu Yeosang memejamkan mata menikmati angin yang masih bertiup pelan.

Jika dilihat dari atas, posisi kamarnya cukup tinggi. Tentu saja, kamarnya berada di lantai tiga. Yeosang tidak yakin apakah ia akan langsung mati jika melompat ke bawah. Ada kemungkinan ia hanya mengalami cacat atau hilang ingatan saja. Tetapi tekadnya sudah bulat, apapun yang terjadi nanti Yeosang tidak akan menyesal sama sekali. Lagipula ia tak punya apa-apa lagi yang perlu di sesali. Ia tak punya keluarga yang akan menangisi jika ia pergi dan Yeosang juga tak yakin Yunho akan peduli melihat apa yang dilakukan pria itu seminggu lalu sudah jelas bahwa ia menolak kehadiran bayi mereka. Jadi apa lagi yang bisa Yeosang pertaruhkan? Maka jawabannya adalah tidak ada.

"Aku minta maaf"

Yeosang berbicara kepada perut ratanya. Setelahnya Yeosang memanjat pagar pembatas pada balkonnya, ia memejamkan mata bersiap untuk lompat. Tetapi sebelum semua itu dapat terjadi, Yeosang justru merasakan tubuhnya terjatuh ke belakang alih-alih ke depan seperti ada yang menariknya. Yeosang masih memejamkan mata, Apakah bunuh diri memang tidak sesakit apa yang ia bayangkan? Mengapa tanah dibawah justru terasa begitu empuk? Apakah secepat itu tubuhnya jatuh ke bawah, sementara sejauh apa yang dapat ia ingat jarak balkon kamarnya dan tanah cukup jauh. Dan kala Yeosang masih sibuk dengan pikiran-pikirannya sebuah suara familiar membuatnya seketika membuka mata.

Eleftheria [Yunsang]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang