Bagian 4

20 11 4
                                    

Lengang sudah rumah kecil Venus tumbuh dan berkembang. Hari-hari yang dilalui Gaia bersamanya, kini akan ia rindukan. Terutama anak semata wayang yang sosoknya setiap hari selalu menjadi kebanggaan, tidak pernah menyangka waktu akan merenggut. Gaia setengah sedih, juga setengah bahagia—bahwa dalam waktu yang tidak sebentar Venus tidak akan pulang.

Di ruang tengah, Gaia berdiri. Ia menerawang setiap sudut. Melihat, mendengar dan merasakan kehadiran Venus kecil berlarian ke sana kemari. Hilang, detik kemudian muncul lagi—tergantikan oleh Venus remaja. Hingga terakhir kali Venus keluar dari kamar ternyamannya. Gaia melangkah, menjamah daun pintu kamar, lantas masuk. Semuanya rapi, termasuk meja langganan Venus membaca. Rak-rak buku di dekat jendela hanya tersisa debu sedikit. Tempat tidur dengan seprai motif pegasus, amat tertata. Ia duduk di pinggir ranjang, menyisir kembali sekitar. Sampai tanpa disadari Gaia tersenyum simpul menangkap sebuah figura di meja.

Tergambar dengan jelas seorang anak tersenyum bahagia. Rambut biru tuanya sepanjang punggung. Di sampingnya seorang wanita yang sangat cantik pada masanya. Dengan latar sungai dan air terjun yang elok, dan ikan besar yang dipegang mereka berdua menambah kesan sukacita. Itu foto Venus kecil dan Gaia.

Seulas senyum tanpa sadar mengantarkan setitik air jatuh ke figura. Diikuti tundukkan Gaia, hingga jatuhnya air makin deras sederas air terjun di foto. Gaia merengkuh figura itu, kesedihan macam apa yang menikamnya. Bertahun-tahun ke depan, ia akan kesepian. Tidak ada lagi Venus yang susah dibangunkan. Tidak ada lagi marathon sarapan. Tidak ada lagi Venus yang menatap langit semalaman.

"Kumohon, kelak pulanglah dengan selamat," lirihannya tidak kuasa mengisyaratkan kesedihan.

Gaia hanya punya Venus di dunia ini, begitu pun sebaliknya. Andai menjadi petarung tangguh bukanlah mimpi Venus, ia tidak akan mengizinkan anaknya berkelana hidup dan mati di luar sana. Andai Sirius dengan akademi tingkat tinggi terbaik bukanlah neraka untuk yang lemah, sudah pasti Gaia akan mengurung Venus di distrik ini. Seperti terulang kembali saat ia kehilangan sosok yang amat dicintainya. Tekad Venus untuk mencari ayahnya menjadi alasan bagi Gaia tidak banyak bicara. Ia hanya bisa berharap yang terbaik bagi Venus. Atau lihat waktu berpihak dan menjawab.

***

Sudah sejam lebih mereka meninggalkan distrik. Hari ini cerah, jalanan juga tidak meninggalkan banyak jejak sehabis hujan semalam. Sepanjang kiri dan kanan hamparan rumput ilalang menyambut. Sepoi-sepoi angin membuat tumbuhan menari. Begitu juga dengan Amreta yang menikmati semilir menerpa wajah. Sesekali wajahnya berseri dan mengerjap, nuansa yang amat langka sampai tubuhnya terasa segar.

Di sebelah kiri, sekitar dua puluh meter lagi rumput ilalang berwarna merah muda terlihat. Walau mereka pergi berlainan arah di mana tempat ilalang ini berada, tapi ujung yang lain bisa terjamah. Amreta jadi teringat sebuah gua berpenghuni ular itu. Sebenarnya mengerikan jika binatang berbisa sepertinya sampai menjamah kediaman penduduk. Sepanjang kaki kuda melangkah, matanya masih terpana akan kecantikan hamparan merah muda yang jarang didatangi—padahal rumput ilalangnya sudah terlewat.

Rasa penasaran Amreta akan tersampaikan saat ia memutar kembali pandangannya sambil bertanya, "Venus, di mana tepatnya gua itu?"

Tidak direspons dengan cepat oleh Venus. Agaknya gadis ini sedang memikirkan sesuatu. Atau jelasnya ia sedang melamun.

"Venus!" Amreta berseru, menepuk bahu Venus.

Si empu mengerjap kaget hingga mengefek pada kuda yang ditumpanginya. Venus buru-buru memegang kemudi kembali. Sampai posisi ternyaman, ia ingin menggerutu pada Amreta, tapi tidak jadi. "Ya?"

Aries [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang