Bagian 6

21 7 1
                                    

Siang harinya, Venus dan Amreta sudah meninggalkan penginapan.

"Apa sebaiknya kita bertanya pada orang sini?" tanya Amreta. Terlihat dengan jelas bulir-bulir air menghiasi wajahnya.

Sudah tiga jam mereka pontang-panting mencari seseorang. Lih. Itu nama yang harus sesegera mungkin mereka temukan. Kedua kuda itu tidak mungkin dibiarkan berada di jalanan tanpa pemilik. Apalagi penduduk Aludra tidak satu pun ada yang menaiki kuda untuk bepergian. Mereka menggunakan transportasi umum berupa piring terbang, luasnya muat untuk membawa tiga puluh orang. Atau mobil dan sepeda motor listrik memenuhi jalanan kota sebagai kendaraan pribadi.

"Tidak akan berhasil. Mereka bahkan enggan mendekati kita." Deru napas Venus terdengar lebih keras. Ia kelelahan, haus pun membakar tenggorokan. Matahari terlalu menyengat untuk tengah hari ini.

Alih-alih Amreta tidak terlalu peduli dengan tatapan sinis penduduk Aludra, ia ingin mencoba bertanya untuk mendapatkan sedikit info. Gadis itu mendekati seorang ibu paruh baya tengah menggandeng anak kecil. "Permisi, Nyonya," ujarnya sesopan mungkin. "Apa—"

Belum sempat Amreta menyelesaikan kalimatnya, sudah dipotong dengan ucapan tidak suka, "Menjauhlah dariku, orang seperti kalian hanya akan membawa petaka." Ia semakin mempererat genggamannya. "Ayo." Lantas pergi bergegas lagi.

"Memangnya apa yang mereka pikirkan tentang petarung?" Amreta bertanya-tanya sambil merunut punggung ibu paruh baya tadi.

Dari belakang Venus menepuk bahu Amreta. "Sudahlah, Am. Kita harus segera menemukan Paman Lih dan pergi dari kota ini."

"Aku tidak bisa berpikir," jawabnya kesal.

Tanpa diduga-duga, seorang pemuda keluar dari sebuah toko menghampiri mereka. "Permisi."

Kedua gadis itu menoleh ke sumber suara.

"Kalian mencari sesuatu?" tanya pemuda itu. Rasanya ia seumuran dengan Venus dan Amreta. Rambutnya amat menyilaukan, perpaduan warna hitam dan cokelat yang mampu membuat banyak gadis terpikat.

Venus lebih dulu membuka suara. "Tepatnya seseorang."

"Aku bertaruh kau pemuda yang baik. Bisakah sedikit saja membantu kami?" pinta Amreta.

"Ya, jika kau mau menjadi pacarku."

Mendengar itu Amreta melotot. "Ayo, Venus." Ia sudah cukup kesal dengan perlakuan penduduk Aludra. Lebih baik pergi dan mencari dengan caranya sendiri.

Pemuda itu menggeleng, terkekeh senang. "Kau gadis pemarah," dengan ejekan seperti itu malah membuat Amreta semakin memerah. "Baiklah, aku harus apa?"

Kali ini Venus yang meminta, sahabatnya bahkan tidak mau melihat wajah pemuda itu barang sekejap pun. "Kami mencari seseorang yang bernama Lih, apa kau mengenalnya?"

"Lih? Banyak orang bernama Lih di kota ini." Pemuda itu menimbang-nimbang.

"Apa itu artinya jawaban tidak tahu?" Amreta menyambar, walau ia masih saja membelakangi Venus dan pemuda itu.

"Tidak juga," pemuda itu menjawabnya seakan menahan senyum melihat wajah kesal Amreta. "Bisa gambarkan bagaimana orangnya?" Kemudian bertanya pada Venus.

Tidak ada gambaran umum sedikit pun, Venus bahkan belum bertemu sama sekali dengan sosok Lih. Ia melirik Amreta, juga yang dilirik berbalik badan. Tidak ada yang tahu bagaimana rupa Paman Lih, mungkin saja mirip seperti si peternak atau bahkan tidak sama sekali.

"Euh, kami belum pernah bertemu dengannya. Tapi mungkin kau bisa tunjukkan di mana tepatnya pasar Aludra. Orang yang kami cari bekerja sebagai penyewa kuda di sana," Venus menjelaskan.

Aries [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang