Prolog

2 0 0
                                    

"Hahhh..."

Kutatap sendu sebuah foto dari ponselku. Setiap aku melihatnya, sejuta rasa penyesalan langsung menghantam dadaku, rasanya sesak sekali. Sudah bertahun-tahun perasaan sakit ini bersarang dalam diriku. Tapi, rasa sakit itu tidak sebanding dengan apa yang sudah aku lakukan kepadanya.

Yah, dulu aku memang brengsek, bahkan sampai sekarang.

Tok Tok Tok...

Aku mendengar derit pintu kamarku, pertanda ada yang mendorong dari luar. Aku menoleh ke arah pintu, masih belum ada siapa-siapa. Sampai sedetik kemudian, ada sesosok anak perempuan yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu.

"Ayah, bunda udah siapin makan malem, ayo ke meja makan."

Itu anak perempuanku, Shinta.

Aku refleks tersenyum, lalu mengangguk. Setelah keluar dari galeri ponsel, ku-matikan ponselku, dibiarkan tergeletak di ranjang. Aku bangkit dan menghampiri Shinta. Anak umur 6 tahun ini selalu berhasil memperbaiki suasana hatiku, seperti saat ini. Suara nyaring-nya yang selalu terdengar riang dan bersemangat bisa mengalihkan perhatianku.

Sepanjang perjalanan menuju meja makan, Shinta menceritakan banyak hal, mulai dari kegiatannya selama sekolah, rencana liburan amatir yang ia rencanakan, sampai ke warna kaus kaki temannya yang berbeda saat masuk ke sekolah. Yah, memang sebanyak itu yang ia ceritakan, karena berjalan kaki dari lantai 2 menuju meja makan pun cukup jauh.

Aku sampai di meja makan bersama Shinta. Disana ada istriku yang sudah duduk di salah satu kursi, menunggu suami dan putrinya datang. Di meja makan, sudah tersaji berbagai jenis masakan rumahan yang istriku buat.

Kami pun mengambil tempat masing-masing. Setelah itu, kami saling bergandengan dan berdoa, sudah terbiasa dengan kebiasaan ini. setelah berdoa, barulah kami makan. Kami makan dengan tenang, hanya ada suara dentingan alat makan. Ini terus berlanjut sampai 15 menit kedepan.

Ah, kami memang membiasakandiri untuk tidak berbicara ketika sedang makan.

Lewat 15 menit setelah makan, Shinta izin pamit ke kamarnya duluan, ada tugas sekolah yang harus ia kerjakan. Tersisalah aku dan istriku disini, saling berdiam dengan kegiatan masing-masing. Dia yang mencuci piring, dan aku yang melamun di meja makan.

Setelah kehabisan bahan melamun, aku menghampiri istiku yang sedang merapikan kursi di meja makan. Aku berdiri di sampingnya, memperhatikan kegiatan rapi-rapi dengan seulas senyum.

"Hei, kamu nggak ke kamar? Bukannya ada kerjaan yang harus kamu selesain?" tanya-nya.

Aku menggeleng, "Udah selesai semua kok dari tadi sore."

Dia mengangguk paham, pekerjaannya pun juga sudah selesai. Istriku tiba-tiba saja berbalikmenghampiriku. Dari wajahnya, terbaca kalau dia mau mengatakan sesuatu, tapi seperti ditahan.

"Kamu kayaknya mau ngomong?"

"Anu... aku cuma mau kasih tau, besok kamu harus pergi ke makamnya." ujarnya. "Kamu nggak lupa kan?"

Oh, benar...

Aku harus mengunjungi makam-'nya' besok, peringatan ke-8 tahun sejak dia meninggalkan aku dan seisi bumi tanpa jejak.

"Iya." Jawabku pelan.

Dia menghela napas sejenak, lalu menggenggam tanganku, mengelusnya dengan ibu jari. "Nggak apa, besok kita berangkat bareng ya, habis anterin Shinta ke sekolah. Kebetulan aku ambil cuti."

Ah, aku suka perlakuan ini. Dia selalu sabar dan menghiburku jika aku sedang uring-uringan seperti ini. Elusan lembut serta kata-kata penyemangat yang keluar dari bibirnya selalu bisa menenangkan diriku.

Sepasang lenganku dengan sigap langsung memeluknya. Setidaknya, ini balasan yang harus aku berikan atas penghiburannya.

"Maaf... sampe sekarang aku belum bisa kasih yang terbaik buat kamu."

Istriku balas melingkarkan lengannya, lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Telapak tangannya bagai menghantarkan kehangatan, punggungku selalu jadi rileks jika istriku melakukan ini.

"Jangan salahin diri kamu sendiri," bisiknya lembut. "Kita berjuang sama-sama ya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Painted PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang