"Be-berhenti, Pak. Ber.. hen.. ti. Tolong." Suara perempuan berusia sepuluh tahun terdengar melirih. Tasya, si gadis kecil rapuh, memejamkan mata rapat-rapat, tak peduli darah segar yang terus mengalir di kepala, kaki, dan tangannya. Pecahan beling kaca yang merobek tapak kaki dan tangan tak menjadi hiraunya kini. Fokusnya tertuju penuh pada sang ibu yang mengerang kesakitan di atas lantai, menahan serangan brutal sang suami yang memukuli kuat kepala perempuan yang melahirkan Tasya itu dengan kayu balok besar.
Sosok imam Ibu, yang dulu menjanjikan hidup bahagia sepanjang hayat kini malah menjadi orang yang akan mengantarkan beliau menuju gerbang kematian.
Dengan terseok, Tasya merangkak mendekati sang Ayah. Memegangi kaki lelaki itu erat-erat, meski berkali-kali wajahnya dapati tendangan, ia tak menyerah. Dengan sisa tenaga yang tak seberapa, tangan bergetar, tasya menarik lengan sang ayah, namun justru tubuhnya dihempaskan hingga membentur tembok di belakang. Pekikan histeris bercampur tangis dari para adik yang bersembunyi dibalik sudut lemari, menjadi satu-satunya harapan tasya untuk kembali membuka mata, meski seluruh tulangnya serasa remuk dan patah.
"Pak,"darah keluar dari mulut Tasya ketika ia terbatuk kecil.
Lagi, Tasya mencoba bangkit dengan kedua kakinya yang lemah. Hingga ketika dia sudah berhasil mendorong sang Ayah yang menguarkan aroma alkohol itu, Tasya bersyukur luar biasa. Dia sungguh tidak tahu mendapat kekuatan dari mana sampai berhasil membuat ayahnya terhuyung mundur, walau sedikit.
Belum sempat Tasya memapah perempuan lemah di depannya untuk berdiri, rambutnya ditarik kasar. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah diseret paksa. Di benturkan kepalanya ke meja ruang tengah, mengundang teriakan sang adik yang paling tua menyebut namanya.
Malam itu, dalam derasnya hujan dan guntur yang menyambar berkali-kali, membasahi perkampungan kumuh di dekat salah satu pasar ikan di bilangan Jakarta, tak siapapun tetangga yang menolong Tasya dan keluarga. Entah karena mereka tidak mendengar pertengkaran, atau lebih memilih menghindar dari kemungkinan ikut terseret amukan Pak Malik, preman pasar yang tak segan-segan menggunakan senjata tajam pada orang yang tak disuka.
"Dasar anak sialan! Kenapa lu nggak mati-mati, hah?! Kenapa perempuan gila itu bisa ngelahirin anak sampah kayak lu?! Udah jelek, bau lagi! Enggak guna banget! Gua jual, pun, lu enggak bakal laku!"
"Ampuun, Pak. Ampun." Mengusap-usapkan kedua telapak tangannya berkali-kali, Tasya memohon dengan kepala menengadah menatap sang Ayah yang kini melayangkan kepala tali pinggang ke badannya. Disela menelan cairan asin yang masuk dalam mulutnya, Tasya berkata rintih, "Am..phun, pak. Tasya janji enggak nakal lagi. Bakal kasih uang bapak tiap hari. Tapi, jangan bunuh Ibu, Pak. Jangan bunuh kami.. Tasya mohon, Pak."
"Halah! MATI AJA LU! MATI! JANGAN HIDUP KALAU ENGGAK BISA GUNA BUAT GUA!"
*
"Sya? Kamu enggak apa-apa, Nak?"
Tasya tersentak dengan mata membuka. Napasnya tersengal. Ia bersyukur, suara ibu yang sangat dikenalnya menjadi penuntun hingga ia bisa menemukan pintu keluar dari mimpi buruk itu. Kedua tangannya bergetar saat Tasya mengusap peluh di pelipis. Jantungnya berdebar kencang sekali.
Sama. Persis sama dengan apa yang ia rasakan puluhan tahun lalu ketika tangan bapak yang besar dan kuat, mencekik lehernya sambil berulang kali mengucapkan doa agar Tasya segera menemui ajal.
Tasya meraup rakus udara di sekelilingnya, berharap ketenangan segera datang. Tapi ia harus menguatkan hati saat bayangan mengerikan bapak kembali berkelebat dalam kepala. Dengan bantuan ibu yang memegangi lengannya, gadis itu terduduk lemas. Tanpa sadar, ia menyentuh lehernya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Looking For A Black Pearl
RomanceLatasya Malik menikmati hidupnya di penghujung usia kepala tiga. Punya keluarga sederhana yang bahagia, pekerjaan mapan yang disuka, serta teman-teman yang selalu ada kala suka dan duka. Siapa pun yang baru melihatnya kini, tak pernah tahu seberapa...