Bab 5 | Memori Itu

4.3K 533 24
                                    

"Saya minta maaf, Pak." Ada kelegaan di hati Tasya. Akhirnya, kalimat pertama yang keluar dari bibirnya adalah hal yang paling ingin dia sampaikan kepada Dhaneswara. Ia beryukur pria itu mengajaknya minum kopi bersama, sehingga dirinya bisa memiliki kesempatan untuk bicara.

"Untuk?"

"Mengira kalau Bapak adalah pegawai baru di CNP. Saya sama sekali enggak tahu. Sumpah!" Tasya mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. "Saya minta maaf sekali lagi." Ujarnya menambahkan.

Hening beberapa saat. Tasya tidak tahu Dhaneswara memandanginya dengan raut yang seperti apa sekarang, karena gadis itu lebih memilih menundukkan wajah. Tidak banyak orang yang berada di bangku kafe area luar. Hanya suara hujan yang berjatuhan di bumi yang memasuki pendengaran Tasya. Aroma air dari langit yang bercampur dengan bau tanah menusuk penciuman, sedikit banyak dapat menenangkan saraf-saraf Tasya yang sebelumnya tegang. Mungkin Tasya bisa jatuh tertidur bila terus diam selama beberapa menit lagi, kalau saja telinganya tak terusik oleh derai tawa kecil yang berasal dari bibir pria di depannya sekarang.

"Kenapa Bapak malah ketawa?"

"Kenapa kamu juga harus minta maaf?"

Tasya mengerjapkan-ngerjap, mengapa mereka jadi saling melempar pertanyaan? Apa ini semacam game lempar kata? Aduh, Tasya, fokus!

"Memangnya, kalau pun kamu salah mengira jabatan saya, apa kamu sudah bertindak tidak sopan pada saya sehingga kamu harus merasa bersalah? Tidak, kan?"

Dhaneswara benar juga. Tasya tidak bertindak anarkis pada lelaki itu, sebaliknya malah bertindak memalukan dirinya sendiri, sampai-sampai Tasya merasa ingin mengubur hidup-hidup dirinya di kerak bumi paling dalam.

"Saya tahu kamu hanya salah paham. Tapi, kamu nggak menyalahgunakan jabatan kamu sama sekali, meski saat itu kamu menganggap diri kamu punya jabatan yang lebih tinggi dari saya. Padahal kamu bisa saja menghina saya yang cuma pegawai baru, yang pangkatnya lebih rendah dari kamu." Dhaneswara menyeruput kopinya sebentar, sebelum menatapi Tasya lagi dengan mata yang membentuk senyuman. "Lagipula, saya bukan petinggi yang punya kantor ini sepenuhnya, saya nggak berhak mecat kamu."

Seperti desas-desus yang sering didengarnya, pria yang duduk di hadapannya itu memang sangat baik dan rendah hati. Tasya mengulas sebuah senyum tipis. "Terima kasih, Pak Dhaneswara."

"Panggil Dhanes saja."

Tasya menelengkan kepala, rasanya ragu mengikuti permintaan lelaki itu. "Eh? Nanti saya dicap nggak sopan, Pak. Gimana pun, kan, Bapak atasan saya."

Dhanes tertawa kecil. "Maksud saya, Pak Dhanes saja. Dhaneswara berasa kepanjangan nyebutnya."

Tasya meringis. Mama mia! Kepedean banget, sih, gue!

Tasya malu. Dirinya terlampau percaya diri, mengira Dhanes mengizinkannya untuk langsung memanggil nama laki-laki itu saja tanpa embel-embel 'pak'.

"Semua orang di sini saya suruh panggil begitu, kok."

Tasya mengangguk cepat daripada kebodohan-kebodohan lain dari dirinya bisa saja terlihat lagi jika pembicaraan ini terus dilanjutkan.

"Kalau gitu, Bapak juga bisa manggil saya 'Tasya' aja. Nggak perlu pakai 'Bu'. Pak Heru dan Pak Bustomo juga manggil saya 'Tasya'."

Dhanes mengangguk. "Oke, kalau gitu. Tasya."

Tasya tersenyum. Dia suka cara lelaki itu menyebut namanya. Seperti mendengar alunan suara surga. Aduh, Tasya. Jangan melantur lagi. Waraslah, waraslah..

Untuk beberapa menit lamanya, keheningan melingkupi mereka berdua. Keduanya sibuk menghabiskan minuman masing-masing.

"Kamu sering, ya, kelupaan bawa dompet?" Dhanes bertanya ketika dia sudah menenggak habis espresso-nya.

Looking For A Black PearlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang