Theme Song : ITS YOU by Sezairi
*
"Aduduh, aduh! Pelan-pelan, Dok. Ini kaki anak perawan, lho." Kalimat pertama yang memasuki pendengaran Dhanes ketika baru memasuki ruang tindakan sebuah klinik adalah suara perempuan. Membiarkan Pak Heru berjalan duluan mendekati seorang gadis yang terduduk di atas tempat tidur pasien, Dhanes memutuskan untuk berdiri di dekat pintu masuk.
"Astaghfirullah Tasya. Lo bisa enggak, sih, sabar sedikit? Dokternya nanti enggak fokus." Seorang laki-laki yang tidak Dhanes kenal, menepuk pundak perempuan yang tengah ditangani Dokter perempuan itu.
"Sakit, Saaab. Lo enggak tau sih, rasanya." Perempuan itu mengaduh lebih keras saat dokter mencabut ranting yang menancap di kakinya, membuat Dhanes ikut meringis tanpa sadar. Namun, senyum tak dapat lelaki itu tahan ketika mendengar keluhan si gadis lagi. "Ya Allah, gue bisa dimarahi Emak ini, Sab. Belum juga anaknya laku udah lecet aja badannya."
"Makanya udah gue bilang enggak usah sok-sok-an ngambil mangga. Udah manjat, kagak tau turun!"
Rasanya menyenangkan bagi Dhanes, melihat ekspresi cemberut dengan bibir yang mengerucut lucu dari si gadis berkucir satu di depannya itu.
"Ya gue, kan, enggak tau kalau bakal kepleset dari pohon. Lo juga! Kenapa enggak nangkap gue, sih? Enggak gentleman banget!"
"Gue udah duluan syok ngira ada makhluk astral jatuh, Sya."
"Ih, Sabdaaa." Si pasien yang ternyata bernama Tasya itu, memukul lengan laki-laki di sebelahnya, sebelum perhatiannya tertuju pada Pak Heru yang baru saja berdeham keras.
"Lho?" Tasya kaget, seolah baru menyadari eksistensi Pak Heru yang sejak tadi hanya memerhatikan pertengkaran kedua manusia berbeda jenis di hadapannya.
"Kok, Bapak di sini? Bukannya ada meeting di kantor?"
"Sudah selesai. Saya ke sini buat ninjau lokasi." Pak Heru menggeleng-gelengkan kepala, menatap Tasya. "Kamu disuruh Pak Bustomo buat nge-reschedule ulang jadwal serah terima sama klien, kan? Bukan disuruh manjat pohon mangga?"
Tasya cemberut. "Mon maap, pak. Saya cuma bantu Bu Marni yang lagi ngidam."
Dhanes tersenyum kecil mendengar suara Tasya yang lebih mirip cicitan. Dia mengedarkan pandangan sesaat, tersadar ada perempuan lain di sebelahnya. Permpuan itu mengangguk sopan saat Dhanes menoleh padanya. Mungkin teman Tasya—pikir Dhanes.
Tasya memegangi lengan Sabda kuat-kuat ketika Dokter menekan tepat di bagian lukanya yang sudah dibalut perban. Meski ranting-ranting yang tadi menusuk kulit kakinya sudah dikeluarkan dan pendarahannya telah dibersihkan, tapi sakitnya masih terasa seperti rasa sakit ibu-ibu yang mau melahirkan. Tunggu. Tasya, kan, belum pernah melahirkan. Ah, pokoknya, sakitlah.
Cukup lama sang dokter menekan luka tersebut, membuat Tasya meringis berkali-kali. Katanya agar pendarahan benar-benar berhenti. Tasya menurut saja. Dia mendengarkan dengan baik penjelasan dari Dokter setelahnya.
"Untung Ibu langsung di bawa ke sini tadi. Kalau enggak, luka sobek di kaki Bu Tasya bisa infeksi jika sampai dibiarkan berjam-jam. Saya resepkan antibiotik, ya. Tapi seminggu lagi, Ibu harus kontrol ulang untuk buka jahitannya."
Tasya mengangguk-angguk. "Luka di tangannya juga udah saya obati. Tapi, karena lukanya hanya lecet saja, pemulihannya bisa Bu Tasya lakukan sendiri di rumah. Cuma perlu cuci lukanya sampai bersih aja, terus pakai sabun dan air mengalir, sebelum ditutup pakai kain kasa. Tapi ingat, harus diganti rutin, ya, Bu."
Tasya mengangguk-angguk lagi, seperti anak ayam penurut pada induknya. Senyumnya terlampau lebar ketika Dokter mengatakan dirinya sudah bisa pulang, sampai digoda oleh Sabda. Beberapa menit setelahnya, hanya tinggal Dhanes dan Tasya berdua dalam ruangan. Dokter sudah keluar, diikuti Sabda yang katanya ingin mengambil resep obat dan mengurus administrasi. Gadis di sebelah Dhanes juga keluar, disusul Pak Heru yang tiba-tiba mendapat telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Looking For A Black Pearl
RomansaLatasya Malik menikmati hidupnya di penghujung usia kepala tiga. Punya keluarga sederhana yang bahagia, pekerjaan mapan yang disuka, serta teman-teman yang selalu ada kala suka dan duka. Siapa pun yang baru melihatnya kini, tak pernah tahu seberapa...