Bagian : 01

3 3 0
                                    

Hari begitu cerah. Semua orang begitu sibuknya mondar-mandir membawa beberapa wadah makanan, beberapa box hantaran pengantin dan box tempat daun sirih. Hari ini adalah persiapan hari pernikah saudara kedua laki-laki dari keluarga yang terbilang hidup dengan cukup kesederhanaan.

Ismara, anak tertua dari keluarga tersebut. Di dahului oleh sang adik menikah. Lalu dijadikan bahan gunjingan oleh tetangga dan keluarga. Sebagai seorang anak tertua, seolah terlihat dimata mereka, dirinya tidaklah laku atau tidak bisa memiliki jodoh. Apalagi selalu dibanding-bandingkan dengan dirinya yang bercadar.

"Jangan bercadar, cantik-cantik kok mukanya ditutupin?"

"Nanti gimana mau dapat jodoh?"

"Nanti gak laku loh... Keluar rumah, banyak bergaul biar dapat jodoh".

"Tuh kan, di dahuluin sama adiknya"

Sebenarnya, hati gadis bercadar itu sedikit terkoyak dan sakit. Namun dia selalu bersabar. Dia percaya, jodoh itu sudah di tentukan Allah. Mau kapan dia dapat jodoh, dan umur berapa dia akan menikah, gadis itu hanya percaya bahwa Allah tidak pernah mengabaikan doanya. Dan dibutuhkan kesabaran ekstra untuk menantinya.

Beruntunglah ibunya selalu menyemangati dirinya. Karena selama ini, yang paling dan sangat mengenal anaknya, hanyalah kedua orangtuanya. Bagaimana kerasnya usaha dia ingin menikah. Berapa banyak pria yang datang kerumah, namun ada pula halangan yang membatalkan nya. Hanya kedua orangtuanya saja yang mengetahui.

"Tenang saja. Kalau jodoh enggak akan lari kemana. Nanti juga dapat gilirannya." Kata ibunya Isma, Buk Wati.

Seolah mendapatkan stamina baru. Senyum merekah di balik cadarnya Isma terpancarkan. Isma jadi lebih percaya diri. Dengan semangat, dirinya turut ikut serta dalam proses penghantaran pernikahan adik laki-lakinya.

***

Ibu, bapak dan adiknya begitu tahu. Isma telah melewati hari yang cukup melelahkan. Hari demi hari yang membuat kepercayaan nya untuk menikah itu luntur. Sebelum adiknya menikah, ada beberapa ikhwan yang sudah pernah datang kerumahnya, melihat wajahnya tanpa ditutupi kain helaian cadar, membuat dirinya berpikir, "Bagaimana bisa semua ikhwan begitu enak nya memandangi wajahku saat proses nadzhor? Eh enggak tahu nya mereka mundur, hanya karena alasan orangtuaku yang meminta uang dalam jumlah besar untuk keperluan memasak didapur. Terlebih lagi, orangtua ku menginginkan aku menikah tanpa menggunakan cadar. Sama sekali mereka tidak ada usahanya dan penerimaan lapang dada untuk keadaan kedua orangtuaku yang masih minim pengetahuan."

Teman dekatnya, Sari. Yang mendengarkan kekesalan Isma, terlihat wajah sendunya dan turut sedihnya untuk Isma. Dia mengerti perasaan Isma, yang bercadar menutupi wajah cantiknya hanya untuk calon suaminya kelak. Dia mengerti Isma begitu kesal dan kecewa.

"Sabar ya Ma. Semua ikhwan emang begitu. Tapi dibalik kejadian ini, Allah menunjukkan yang mana belum menjadi jodoh Isma".

Isma tertegun dengan apa yang dikatakan oleh Sari. Benar. Selama ini dirinya selalu berdoa dan meminta supaya di pilihkan jodoh yang baik. Baik pada dirinya dan baik kepada orangtuanya. Yang pemahaman agamanya sudah banyak, yang mengerti keadaan dan situasi keluarga. Yang bisa menjadi pemimpin untuk dirinya dan keluarganya. Masalah fisik, Isma enggak mau macam-macam lagi permintaannya. Cukup dia lebih tinggi darinya, manis, alis tebal, mata sipit, tidak perlu putih ataupun terlalu hitam. Tidak perlu gemuk atau pun kurus. Memikirkan itu semua Isma tersenyum.

"MasyaaAllah... Makasih Sar, kau sudah ingatin aku. Allah lagi memilihkan jodohku". Ujarnya lalu terkekeh sendiri.

"Lalu... Ku dengar-dengar... Ada ikhwan lagi yang mau datang kerumah? Padahal baru seminggu lebih loh, ikhwan yang kemarin mengundurkan diri."

"Doa kan saja. Semoga lancar." Jawabnya dengan mantap.

"Ikhwan yang satunya? Yang katanya duda tapi masih perjaka itu? Enggak jadi?"

Isma mengambil dua buah piring, lalu meletakkan nya ke lantai di depan Sari yang sedang terduduk bersila. Dia masih terdiam, bergerak menurunkan beberapa wadah berisi lauk-pauk dan wadah yang berisi nasi. Isma menyiapkan makanan untuk Sari sebagai hidangan tamunya. Saat ini Sari sebagai tamu dirumah Isma. Di karenakan masih dalam hari Raya Idul Fitri. Isma menurunkan air minum untuk Sari. Kemudian ikut duduk bersila di depan hidangan tersebut.

Sari masih menunggu jawaban dari temannya. Yang didapatkan hanyalah senyuman dan gelengan kepala.

"Kok bisa?"

"Kau kepo sekali Sar?" Ujar Isma kemudian terkekeh.

"Aku kan mau tahu juga."

"Ibuku bilang, aku disuruh lanjut terima tawaran dari ikhwan yang mau kerumah nanti. Dan yang duda itu, kata temannya Ibuku, jangan diharapkan. Soalnya, enggak ada kepastian kapan mau kesini. Bahkan kabar juga enggak ada. Begitu..."

Sari menganggukkan kepalanya tanda dirinya paham.

"Emang kau sudah sholat Istikharah Ma?"

"Dari kemarin-kemarin, perasaanku bimbang, campuraduk seperti dilema. Antara pilih yang duda atau yang ikhwan mau datang kerumah nanti. Enggak lepas aku dari sholat dan berdoa. Aku cuma minta, mantapkan hati untuk satu ikhwan. Dan mantapkan hati orangtuaku untuk tidak terlalu berharap sama yang duda itu. Aku enggak tahu kenapa orangtua ku itu, berharap banget ke dia yang duda. Padahal hatiku malah mantapnya ke ikhwan yang mau datang kerumah nanti. Kalau aku mikir ke yang duda, aku mikir masa depanku nanti gimana. Soalnya aku sama si duda itu sudah kenal juga sih semenjak tugas lapangan waktu kuliah dulu. Dan... Pastinya aku sudah kenal gimana orangnya dan lingkungannya. Baik sih, tapi hati aku nya kurang mantap Sar."

Sari membelalakkan kedua matanya yang sipit, seolah berkata 'serius?'.

Isma mengganggukkan kepalanya dengan bibir terkatup. Tanda bahwa memang itu kenyataannya.

"Intinya, ada deh alasan pribadiku".

Sari tahu, temannya ini tidak selalu asalan saja memilih jalan. Selama dekat dengan temannya, dia selalu diberikan kejutan yang luar biasa dari kehidupan temannya. Ada saja kebahagian yang didapat. Sari tahu, perjalanan temannya untuk bisa bahagia itu tidak selalu mulus. Namun karena tekadnya yang selalu di barengi sholat dan berdoa, adaaa saja hadiah-hadiah yang enggak terduga datang.

***

"Nanti terus cerita ke aku ya Ma? Biar aku dapat pengalaman dan pelajaran darimu hehe...".

"Iya-iya, nanti aku ada kasih tahu kamu. Doa kan saja lancar semuanya."

"Aamiin... Salam untuk Ibu sama Bapak ya? Mereka belum pulang?"

"Belum Sar. Masih main kerumah teman Bapak. Nanti aku sampaikan salam ke mereka".

"Kalau gitu aku pamit pulang, makasih makanan nya hehe... Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumussalam..."

Motor Sari melaju meninggalkan Isma yang berdiri sendirian di depan rumahnya. Kemudian Isma masuk kedalam rumah, tidak lupa menuntup pintu rumahnya. Karena takut, dirinya sendirian dirumah. Apalagi adik laki-laki nya sudah memiliki kehidupan rumah tangga sendiri. Sedangkan adik bungsu perempuannya ikut pergi bersama kedua orangtuanya.

Meskipun ada tetangga di kanan-kiri rumahnya, tapi tetap saja. Isma lebih suka mengurung diri dirumah. Jika menerima tamu pun, hanya untuk keluarga dan teman-temannya yang sudah janjian.

___________________





🙏🏻 Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan dan penyampaian. Dikarenakan saya masih minim pengetahuan dalam kepenulisan.

Nostalgia PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang