7-Kesempatan Kedua

286 48 2
                                    

Fathir menatap Fona yang tersenyum. Matanya tidak bisa teralih dari wajah mungil yang berada di hadapannya itu. Dia memajukan wajah, Fona langsung kaget.

Mata Fona mengerjab beberapa kali saat Fathir mendekat. Mendadak dia tidak bisa bernapas dengan nyaman. Ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Selain itu dia tidak bisa menggerakkan tubuh.

"Gimana sih lo kalau makan?" Fathir mengambil sesuatu yang menempel di ujung bibir Fona. "Kayak anak kecil."

Fona langsung membuang muka. Dia mengusap sudut bibir lalu menggeram sebal. Kenapa, sih, gue selalu malu-maluin?

Fathir mengambil potongan ayam lain. Sambil memakan, dia melirik Fona yang masih membuang muka itu. "Gue pikir lo anggap omongan gue bercandaan."

"Huh...." Fona menghembuskan napas dan memberanikan diri menoleh. "Omongan lo yang mana?"

"Waktu gue minta itu...." Dagu Fathir bergerak menunjuk kotak ayam di depannya.

Fona mengangkat bahu. "Mungkin sebagai ucapan rasa bersalah."

"Baguslah kalau lo ngerasa bersalah."

"Ya udah, sih! Tinggal makan. Nggak usah bawel."

Fathir menoleh dan memajukan wajah. Fona sontak mundur. Gadis itu mengerjabkan mata beberapa kali karena tindakan Fathir yang tiba-tiba itu. Lelaki itu mulai berbahaya. Terlebih jantungnya mulai bermasalah setiap Fathir melakukan itu.

"Ya udah sana makan." Fona berdiri, tapi ada tangan hangat yang menggenggamnya. Satu tangan Fona terkepal, sebal karena Fathir membuatnya jantungan.

"Nggak enak kalau makan sendiri," jawab Fathir sambil menarik Fona hingga gadis itu kembali duduk.

Fona mengambil ayam gorengnya dan melahapnya pelan. Matanya terasa gatal ingin terus menatap Fathir. Namun, dia berusaha menahan. Dia tidak bisa membiarkan jantungnya berdegup lebih cepat.

Fathir mendongak, melihat langit yang dihiasi bintang. "Gue bersyukur dapet tempat kayak gini."

Refleks Fona mendongak dan melihat langit malam yang begitu indah. "Lo harus bilang makasih ke Tante Helda."

"Ya. Besok gue bakal ngomong."

"Hati-hati. Bisa-bisa dia marah nggak lo ajak ke sini."

"Lo juga nggak ngajak!" jawab Fathir.

Fona mendengus karena Fathir kembali menyebalkan. Namun, setidaknya itu lebih baik, baik juga untuk jantungnya. "Selain ngajar di tempat Yuke lo ngajar di mana lagi?"

"Penasaran?"

"Ya udah kalau nggak mau jawab." Fona menggigit ayam gorengnya dengan kasar.

Fathir menyenggol pundak Fona. Wajah Fona langsung menegang. Senggolan itu kembali membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Fona segera bergeser, tidak ingin hal itu keterusan.

"Gue ngajar ekskul di dua sekolah. Terus ngajar privat di lima tempat. Tiap Kamis sama Jumat pagi gue ke kampus." Fathir menceritakan kegiatannya yang cukup sibuk.

"Lo nggak capek?"

"Ya capeklah!" jawab Fathir. "Tapi ini lebih baik daripada diem dan terus menyesali masa lalu. Iya, kan?"

Fona mengangguk menyetujui. "Gue nggak nyangka ketemu lagi sama lo. Setelah lulus SMA kita bener-bener nggak ada komunikasi."

"Lo yang pindah. Anak-anak sempet nyari lo."

"Pindah karena keterpaksaan." Fona menjawab dengan senyum kecut. "Awal kita ketemu waktu masih manja. Sekarang kita ketemu pas udah dewasa dan sama-sama mandiri."

My First ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang