4-Pulang Bareng

322 56 1
                                    

Tak... Tak....

Fathir menaiki dua anak tangga sekaligus, kemudian memilih duduk. Dia membuka kantong putih yang dia bawa dan mengeluarkan ice cream rasa matcha. Bagi sebagian orang, khususnya lelaki pasti lebih suka rasa yang berbau kopi. Namun, Fathir lebih menyukai teh. Ice cream mathca adalah favoritnya.

Krek....

Sambil menggigit ice cream berwarna hijau itu, Fathir mengangkat wajah. Dia melihat gadis yang dia temui beberapa jam yang lalu. Gadis itu baru sampai. Jelas karena harus naik angkutan umum.

"Ngapain lo di situ?" Fona menatap Fathir yang sedang asyik menyantap ice cream itu. Tangga yang sempit jadi tertutup karena tubuh Fathir. "Minggir gue nggak bisa lewat."

Fathir hanya menggerakkan tubuh ke samping. Ada space kecil yang cukup untuk satu kaki. Namun, pasti tubuhnya akan terdorong. "Bentarlah." Kemudian dia kembali duduk santai. "Nih...."

Fona melihat bungkusan berwarna cokelat dari kantong putih itu. Dia menggeleng, kemudian membuang muka. "Minggir, dong! Gue mau masuk."

"Nggak ada salahnya nikmatin malam. Bentar doang." Fathir mengambil ice cream yang tersisa dan mengulurkan ke Fona.

"Nggak perlu!"

"Mumpung gue baik ke lo," jawab Fathir. "Kalau nggak mau, ya udah tunggu aja sampai gue selesai makan. Lebih cepet kalau kita makan ice cream bareng, kan? Daripada gue sendiri." Tanpa memberi aba-aba dia melempar ice cream itu ke Fona.

Bugh....

Beruntung Fona cukup sigap. Dia mengangkat bungkus ice cream cokelat yang dilapisi kacang. Kemudian menatap Fathir penuh tanya. "Tumben lo baik?"

"Lagi pengen baik." Fathir mengangkat bahu pelan.

Fona mendekat kemudian duduk di anak tangga terakhir. Dia membuka ice cream itu dan memakannya dengan pelan. Selama dua tahun terakhir, dia tidak bisa menikmati masa santai seperti sekarang. Setelah pulang dari rumah Yuke, dia segera ke kontrakan dan memilih tidur.

"Kenapa lo sekarang sering pura-pura?"

Tubuh Fona berjingkat mendengar suara yang berasal dari belakangnya. Dia bergerak ke samping dan menatap Fathir. "Emang kenapa kalau gue pura-pura?"

"Emang lo malu punya temen kayak gue?" Sepanjang perjalanan pulang, Fathir memikirkan hal itu. Menurutnya, Fona yang sekarang berbeda dengan Fona yang dulu.

Fona menunduk dan menggeleng pelan. "Gue malu ke diri gue sendiri."

"Kenapa harus malu?"

"Ya, gue bukan Fona yang kayak dulu." Fona mendongak, menatap Fathir yang terdiam itu. "Semakin dewasa gue makin nggak punya temen. Nggak kayak dulu. Semakin dewasa gue ngerasa, gue makin nggak bisa apa-apa."

Fathir menatap Fona dengan mata memicing. "Jadi, lo lebih pede waktu sekolah dulu?"

"Hmm...." Fona menggigit ice cokelatnya. "Gue pindah setelah lulus SMA gara-gara bokap gue dipecat. Setelah itu gue nyari kerjaan. Kerja di warnet, jadi tukang cuci piring. Sampai akhirnya gue dapet beasiswa."

"Terus?"

Hati Fona teriris jika mengingat tentang hidupnya. "Ternyata hidup belum berpihak ke gue. Gue terus salah bersaing. Sampai akhirnya gue jadi pendamping Yuke!"

"Jadi pendamping bukan kerjaan yang memalukan," jawab Fathir. "Gue cukup tahu keadaan Yuke. Kalau dia nggak didampingi orang yang tepat, kondisi dia bakal parah. Tapi apa yang terjadi sekarang? Dia ceria karena bantuan lo."

My First ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang