1.Katanya Wanita Karir
Hidup adalah tentang menyenangkan semua orang. – Hani
***
Bekerja di Jakarta itu berat. Selain jam kerja yang panjang, karyawan harus berhadapan dengan kemacetan Jakarta yang disebut sebagai salah satu yang terburuk di dunia.
Pulang melewati jam kantor demi menghindari macet dan tiba di rumah larut malam. Keesokan paginya, harus bangun lebih cepat dari seekor ayam jago agar tiba di kantor tepat waktu.
Tergopoh-gopoh memakai sepatu, menyambar tas dan merapikan pakaian yang kusut setelah berdesakan di dalam bis, dilakukan hampir semua karyawan di kota metropolitan itu. Termasuk Hani.
Permisi—permisi, maaf .... Hani memiringkan tubuhnya melewati celah himpitan tubuh-tubuh manusia yang belum tiba di tujuan. Dengan satu lompatan, ia sudah menjejak tepi jalan raya.
Sedikit melompat-lompat menghindari trotoar yang tak rata, Hani merogoh kantong jasnya. Ponselnya bergetar sejak tadi. Pasti urusan yang sama, umpatnya dalam hati.
Han! Kopi ya. Semua varian kayak biasa. Dan kayak biasa juga, pake duit lo dulu, entar diganti. Thank you in advance.
Doni yang hobi menyuruh-nyuruh junior tak pernah lupa menyampaikan titipannya pagi itu. Dulu Hani merasa luar biasa keren setelah diterima di perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Di antara penghuni jajaran lantai satu kos-nya, Hani dianggap paling sukses. Wanita karir sejati. Padahal ....
Hani mengetikkan balasan untuk pesan Doni, Siap, Mas. Ia langsung mempercepat langkah kakinya menuju kedai kopi mahal yang seolah sudah menjadi kewajiban untuk menampilkan urban lifestyle.
Dua orang karyawati yang menggandeng anak kecil masuk tergopoh menuju lobi. Hani meringis menoleh sekilas. Ibu-ibu itu pasti menuju tempat penitipan anak yang berada di lantai dasar.
Untuk kesekian kalinya, Hani mensyukuri bahwa ia belum menikah. Perkantoran Jakarta, ia nilai terlalu berat untuk ibu bekerja. Mereka pasti bangun jauh sebelum matahari terbit menyiapkan sarapan bagi keluarga. Atau setidaknya, persiapan untuk dirinya sendiri menuju kantor. Lantas mereka harus menitipkan anak kepada pengasuh atau orang tua mereka kalau di kantornya tak ada fasilitas penitipan. Ditambah lagi dengan menjejalkan diri ke dalam transportasi umum. Hani bergidik.
Betapa pun kerasnya usaha para perempuan itu, pada akhirnya, mereka terpaksa harus berhenti bekerja karena tingginya biaya yang harus ditanggung, sebuah fakta yang ditemukan dalam riset-riset.
Dengan kacamata yang melorot sampai ke ujung hidungnya, Hani menenteng empat paper cup berbagai ukuran di tangan kirinya.
Lagi-lagi ia harus menyebut mantra yang sama. "Permisi—permisi, maaf ...."
Sepuluh menit lagi menjelang waktu yang ditolerir mesin finger print. Hani mendatangi tiap kubikel dan meletakkan pesanan masing-masing rekan di timnya. Beres dengan semua pesanan itu, Hani meletakkan ibu jarinya pada mesin finger print hingga bunyi bip terdengar.
"Han! Tolong ke ruangan saya!" seru Bu Curry saat melintas di depan kubikelnya.
Ya, Tuhan . Apa berkas yang kemarin salah lagi?
Hani langsung gelisah dan mual seperti biasa.
"Eh, lo dipanggil, tuh! Minum kopi dulu biar tenang. Sampe keringetan gitu." Dini satu-satunya karyawan lama yang sering mengajak Hani berbicara menghampiri kubikel.
"Gue nggak beli kopi," jawab Hani.
"Kebiasaan lo emang. Jangan terlalu pelit untuk diri sendiri, Beb!" Dini berlalu menuju ruang fotokopi di sebelah pantry.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mabuk CEO (SUDAH TERBIT CETAK)
Romance***SUDAH TERBIT CETAK DAN TERSEDIA DI SHOPEE*** DILARANG PLAGIAT DALAM BENTUK APA PUN. (Novel ini sudah pernah DIPLAGIAT oleh salah satu penulis platform dan berujung dengan takedown novel tersebut. Berkaryalah dengan jujur.) MABUK CEO adalah novel...