"Orang berlomba memakai barang branded hanya demi terlihat hebat di mata orang lain. Bukan untuk dirinya sendiri." - Hani
***
Indra masih berdiri merapatkan tubuhnya di dinding luar kedai kopi dengan mata tak lepas memandang Nicholas yang menghilang ke dalam sedan mewah berwarna hitam.
Hani tertatih-tatih berjalan keluar setelah mengambil kopinya yang baru saja selesai dibuatkan.
"Nih, buat lo. Kalo tau ketemunya cuma sebentar, gue nggak akan pake acara akting beli kopi. Rugi," ketus Hani menyerahkan caramel macchiato berukuran sedang.
Indra masih terperangah dengan mulut setengah ternganga.
"Heh!" teriak Hani.
"Iya gue denger, ck." Indra menyambar gelas kopi dengan wajah sebal.
"Ngeliatin apa, sih?" tanya Hani melihat ke arah tempat di mana mobil Nicholas baru saja pergi.
"Gue nggak nyangka. Aslinya seganteng itu. Kakeknya berdarah Jerman. Pantes idungnya tinggi kayak Monas." Indra masih berdecak.
"Ndra, kayaknya gue nggak bakal sanggup deh ... barusan gue salah ngomong lagi kayaknya." Hani menghentakkan kakinya yang semakin terasa pegal saat ia berdiri.
"Apa lagi? Lo bilang apa lagi?" Indra menyeret Hani yang menghalangi pintu masuk kedai kopi.
"Gue laper, kita ke mini market." Hani gantian menyeret lengan Indra untuk menuruni undakan anak tangga dan pergi menyeberang ke tower lain.
Setelah membayar tak lebih dari lima puluh ribu, Hani keluar mini market menenteng belanjaannya. Indra sudah duduk di kursi teras tempat mereka biasa duduk. Siang itu tak ada orang di sana selain mereka berdua.
"Jadi?" tanya Indra tak sabar. "Ganteng, kan?" Indra menaikkan alisnya menunggu Hani memuji Nicholas.
"Awalnya, gue speechless. Lo harusnya menyiapkan batin gue untuk hal itu. Mana gue sempet bilang mukanya pas-pasan ck. Enggak akan sanggup kalo lama-lama ngobrol ama dia. Gue nggak tahan ama cara dia natap gue. Hii-" Hani bergidik.
"Tapi lo udah minta maaf, kan?" Indra memastikan.
"Udah-udah. Malah karena gue minta maaf itu jadi timbul masalah baru." Hani menarik napas berat.
"Apa?"
"Gue minum dulu." Hani memutar tutup botol dan meneguk setengah botol air putih dengan satu napas.
"Sabar-gue sabar," jawab Indra ikut menusukkan sedotan pada caramel macchiato yang sejak tadi dipegangnya.
"Sebelumnya gue mau ngomong. Gue emang belum pernah ngeliat wujud asli si Nicholas ini secara langsung. Liat berita aja gue hampir nggak pernah. Tapi menurut gue dia terlalu artifisial. Dari ujung kaki sampe ujung rambut, semuanya branded. Penampilannya itu kayak hasil cuci otak kaum kapitalis yang berhasil menjual produknya ke dia. Si Nicho ini, make sesuatu yang mahal untuk ngebentuk pribadi buatannya itu. Biar keren diliat orang lain. Bukan demi dirinya sendiri." Hani meletakkan botol air mineral dan meraih onigiri yang ia letakkan di atas ponselnya.
"Lo yang milih bawa tumbler berisi air anget tiap hari ketimbang beli kopi, gak akan pernah ngerti soal itu. Semua bukan soal branded dan kaum kapitalis yang lo sebut tadi. Merek-merek itu, mahal karena menghargai perancangnya. Masa lo udah kuliah designer mahal-mahal, tapi lo nggak pengen balik modal. Buat lo yang beli tas 300 ribuan mata tau rasanya pake tas mahal. Mungkin ini kali pertama lo beli tas harga empat juta. Itu juga pasti udah mahal banget buat lo ," sinis Indra menatap hani yang langsung mengambil tisu dan mengelap tas barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mabuk CEO (SUDAH TERBIT CETAK)
Romantizm***SUDAH TERBIT CETAK DAN TERSEDIA DI SHOPEE*** DILARANG PLAGIAT DALAM BENTUK APA PUN. (Novel ini sudah pernah DIPLAGIAT oleh salah satu penulis platform dan berujung dengan takedown novel tersebut. Berkaryalah dengan jujur.) MABUK CEO adalah novel...