3. Stefi Si Legal Manager

3K 690 190
                                    

Ternyata selain kecantikan dan otak encer, perempuan itu juga perlu nyali. – Hani

***

'Siang ini saya ada urusan di Escape Tower. Jadi penasaran dengan legal manager yang katanya bisa manja dan menggemaskan. Oke. See you Stefie.'

Hani mencampakkan tasnya ke lantai dan menyeret Indra ke sofa. Saat ini ia tak terlalu mengkhawatirkan Bu Curry. Ia lebih mengkhawatirkan apa saja yang sudah dikatakannya pada Presdir Grup Dalmiro dini hari tadi. Setelah beberapa saat mencengkeram erat tangan Indra, Hani menghirup napas dalam-dalam dan menyodorkan ponselnya.

"Ndra, gue nggak berani scroll pesan itu. Lo aja! Liat apa yang udah gue ketik ke Mas Nicho itu. Gue nggak berani—gue nggak berani. Ya, Tuhan legal manager di perkantoran Escape Tower. Stefie. Oh, shit!" Hani membungkam mulutnya.

"Oke, kita liat sama-sama." Indra menyambar ponsel dan langsung membuka aplikasi pesan.

Hani menggigit bibirnya.

"Kita mulai dari paling bawah." Indra melirik Hani yang sudah menggigit bibir bawahnya, memejamkan mata dan mengangguk-angguk lemah. "Oh God" – Indra menegakkan duduknya – "gue bacain sekarang."

"Nicholas Cipta Dalmiro, gimana rasanya jadi orang kaya? Pasti asik. Setidaknya harta bisa menyelamatkan tampang kamu yang biasa-biasa aja." Indra menatap Hani yang sekarang membekap mulutnya dengan mata memejam. Indra kembali melanjutkan.

"Kaya berkat orang tua, ya? Aku curiga kamu sebenarnya nggak bisa apa-apa. Dan sekarang, udah tunangan. Tunangan kamu pasti cantik, dengan warisan berlimpah dan isi kepala pas-pasan. Kamu tersinggung? Wajar. Karena yang aku katakan, semuanya pasti bener." Indra melirik reaksi Hani.

"Wine terkutuk," desis Hani.

"Kalo cuma cari wanita yang bisa manja dan menggemaskan, seorang legal manager di Escape Tower juga bisa. Bisa jadi aku jauh lebih cantik dan jenius dibanding tunangan kamu. Lingkaran pernikahan orang kaya omong kosong. Yang kaya kawin ama yang kaya biar hartanya nggak ke mana-mana. Mengabaikan perasaan dan milih dijodohin cuma karena duit. Sound disgusting!" Suara Indra ikut meninggi seiring dengan pesan teks Hani yang dibacanya.

"Ibu," ratap Hani.

"Takut miskin? Hidup di kota besar pemikiran, kok, kampungan!"

"Oh, no ...." Hani memutar tubuhnya dan membungkuk di pegangan tangan sofa.

"Pemilik perusahaan seperti kalian sebenarnya nggak kerja. Yang banting tulang itu para bawahan. Kalian juga nggak pernah ngecek keadaan karyawan kalian gimana. Betah atau tidak? Sejahtera atau tidak? Lingkungan kerjanya baik atau tidak. Yang kalian pikirkan cuma profit, profit, profiiit terus." Indra membacakan pesan itu dengan berapi-api yang membuat Hani semakin tersiksa.

Hani tersengal-sengal meremas bagian dada kemeja satinnya. "Cukup—cukup. Gue nggak sanggup lagi."

Ada dikit lagi, "Wanita manja dan menggemaskan? Mesum banget." Indra menutup aplikasi pesan. "Gimana?" Indra memandang sahabatnya.

Selama hidup di dunia ini, Hani merasa tak pernah membuat satu pun kekacauan. Hidupnya selalu lurus-lurus saja. Jadi anak manis dan pintar, jadi siswi baik, mahasiswi baik, bahkan karyawati yang saking baiknya malah selalu dimanfaatkan. Hani bangkit dari sofa dan memungut tas tangan yang tadi dicampakkannya begitu saja.

Dan kemarin malam, Hani menumpahkan segala unek-uneknya pada seorang presdir. Ia tak mengenal siapa Nicholas. Melihatnya saja tak pernah. Hidupnya sudah terlalu sibuk pergi subuh dan pulang larut malam. Bukannya mencaci maki Bu Curry, Doni atau rekan-rekan kerja yang selalu merendahkannya, Hani malah mengumpat hidup orang lain.

Mabuk CEO (SUDAH TERBIT CETAK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang