4. Perspektif

2.8K 669 174
                                    

"Satu kebohongan akan mengikuti kebohongan lainnya." -Hani

***

Langit masih tersungkup awan gelap saat Nicholas bangun tidur setiap hari. Tak ada kata begadang. Kecuali untuk urusan-urusan penting yang melibatkan bisnisnya. Lebih tepatnya, bisnis keluarga yang ia kelola.

Ayahnya adalah pemilik gurita bisnis properti asal Indonesia, Grup Dalmiro. Diambil dari nama keluarga yang turun temurun menekuni bisnis itu dimulai dari sederet bangunan pertokoan puluhan tahun yang lalu.

Bulan sebelumnya, Nicholas baru meneken sale and purchase agreement, sebagai pengembang utama Signature Tower senilai 2,43 triliun yang akan menjadi landmark baru di Kuala Lumpur. Sebuah proyek prestisius dan investasi besar Grup Dalmiro di negara tetangga. Yang lumayan mengejutkan lantaran, bukan sikap seorang Nicholas Cipta Dalmiro mau muncul di depan publik.

Grup Dalmiro memiliki properti yang terdiri dari sekitar 21 perusahaan sebagai bisnis utama, bidang jasa sebanyak lima perusahaan, perusahaan investasi dan keuangan sebanyak dua perusahaan di luar negeri, serta enam perusahaan di sektor manufaktur seperti kaca dan keramik yang bertempat di dalam negeri dan Singapura.

Terdengar sangat 'wah' di telinga siapa saja. Kakek buyutnya sangat berhasil membuat keturunannya bisa hidup lapang dan berbalut kemewahan.

Namun, hal yang terlihat sempurna itu tak membuat hidup Nicholas mulus. Ayahnya telah menikah lagi dan tinggal bersama istri sirinya di Singapura. Sedangkan ibunya, tinggal di sebuah rumah mewah dan bertahan untuk tak menggugat cerai karena khawatir akan masa depan putra satu-satunya.

Ayahnya pergi meninggalkan mereka dan sekarang memiliki putra-putri lain. Meski dari istri kedua, ayah Nicholas mengusahakan harta peninggalan untuk anak-anak hasil perkawinan keduanya.

Setiap hari, urusan Nicholas tak hanya mengurusi perusahaan kakeknya yang bisa diambil kapan saja untuk dibagi. Meski secara hukum yang tertulis sekarang, ia merupakan CEO dari semua itu, ia masih merasa bahwa kedudukannya lemah.

Ibu tirinya, sebut saja begitu. Setiap saat mengirimkan bujukan-bujukan, ancaman atau peringatan bahwa semua harta itu tak sepenuhnya milik ia dan ibunya.

Dan Nicholas, tak rela kalau ibunya harus menyerah dan kembali berbagi sesuatu yang memang menjadi hak mereka. Bukan soal harta, tapi itu semua soal harga dirinya.

Nicholas bangkit keluar kamar dan pergi menuju dinding kaca. Ia menyibak tirai apartemen yang berada di lantai 40. Langit mulai menyemburat merah pertanda matahari sesaat lagi akan keluar.

Terbayang lagi percakapan bersama ibunya kemarin malam.

"Kamu nggak harus nikah sama Tari cuma demi menguatkan posisi kamu di perusahaan. Mama nggak apa-apa," ucap ibunya.

"Mama lebih sayang kalo kamu harus ngabisin hidup dengan perempuan yang nggak kamu cinta. Harusnya kamu bisa jadiin hidup Mama sebagai contoh. "

Kemarin malam ia dan ibunya berdiri bersisian menghadap hamparan gedung pencakar langit dan bergumul dengan pikiran mereka masing-masing sambil sesekali berdebat.

"Nich, Mama nggak apa-apa." Ibunya menoleh, mencengkeram erat lengannya demi meyakinkan isi perkataan barusan.

"Kamu nggak harus kasian dengan Mama yang bertahan dalam rumah tangga di atas kertas ini. Papa dan Mama pernah saling cinta. Mama yang mau bertahan demi kamu. Bagaimana pun, kamu putra sulung."

Kemarin malam, Nicholas hanya diam. Ia hanya ingin membebaskan ibunya dari rumah tangga toxic. Ia menyanggupi untuk menikahi Tari karena orangtua wanita itu bersedia memberikan dukungan penuh untuknya di jajaran direksi. Jika suatu saat adik tirinya masuk ke perusahaan, posisinya sudah kuat. Ibunya bisa melenggang mengurus perceraian dan menikah dengan pria yang mungkin bisa mendampingi masa tuanya. Ia hanya tak mau ibunya merasa kesepian.

Mabuk CEO (SUDAH TERBIT CETAK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang