03

3 3 0
                                    

"Tidak biasanya seorang Katha menggunakan kupluk."

Baru juga sampai di anak tangga kedua gedung Fakultas Bahasa dan Sastra, Katha sudah disambut oleh orang yang tak ingin ia lihat mukanya. Tidak, bukannya Katha tidak suka dia. Katha membencinya dari pada kata 'benci'.

"Katharsis, aku tahu kau pendiam, tapi tolong berhenti untuk mengabaikanku."

"Aku hanya ingin memakai kupluk. Apa masalahmu?" Dan berhenti memanggilku Katharsis, batin Katha sengit.

"Bagaimana rambut hitam bergelombangmu?"

Nah, ini dia. Katha tidak bisa berterus terang, apalagi terhadap salah satu mahasiswa Jurusan Sastra Inggris tahun kedua yang sangat pandai cari muka kepada semua orang. Remm namanya, ngelantur hobinya. "Aku mengonde-nya."

"Aku ingin lihat." Katha menepis tangan Remm yang mulai berani menyentuh bagian kepalanya. Gadis itu menatap tajam. "Daripada bahas rambutku, lebih baik persiapkan diri untuk kelas Professor Harvard, hari ini aku penggantinya."

"Akh!" Remm terlihat panik. "Melihatmu yang begitu muda dariku, seringkali aku berpikir kau itu adik tingkatku, Katharsis!"

"Namaku hanya Katha, bukan Katharsis." Dia menggumam. "Dan kita hanya beda satu tahun."

Remm mengangguk-angguk. Tahu-tahu, mereka sudah sampai di lantai paling atas, tepat di simpang tiga utama. Jika kau lurus akan bertemu ruang kelas, belok kiri akan mempertemukanmu dengan ruang dosen. Untuk belok kanan, akan mengantarmu ke ruang perpustakaan khusus Fakultas Bahasa-Sastra.

"Aku segera ke kelas, berarti kau belok kiri, ya—Katharsis! Aku bahkan belum selesai bicara, kenapa kau sudah belok kiri, hey?!"

***

Kepada Remm, Katha tak ingin banyak bercerita. Ia tahu betul tabiat cowok yang moncongnya begitu aktif bahkan di perkumpulan para sosialita Universitas Akerima. Cowok yang mudah bergaul, juga mudah membeberkan hal yang sifatnya rahasia. Remm juga banyak tanya. Katha takut rambut pitaknya yang sudah dirapikan akan memancing pertanyaan beranak— yang malah menggiring ke salah satu rahasia tentang pekerjaan Katha sebagai novelis dan manusia berkecanduan film biru.

Soal Katha yang memiliki kecanduan aneh tidak pernah diketahui banyak orang, kecuali beberapa yang Katha anggap bisa tutup mulut—benar-benar tutup mulut bahkan saat diminta bicara pun.

"Profesor, hari ini Anda banyak diam." Salah satunya Dosen Bahasa yang berhasil menyelamatkan hidupnya. Orang tua yang Katha anggap sebagai penopangnya untuk terus bermimpi. Profesor Harvard, manusia tua yang beberapa tahun lalu secara tidak sadar mengangkat Katha sebagai asistennya.

"Sariawanku kambuh." Dia tahu betul, Katha bukan gadis cerdas. Terakhir kali si maniak film biru itu mengenyam pendidikan hanyalah sampai pada kelas tiga SD. Serius. Harvard tahu Katha sudah berkecimpungan di dunia film dewasa di saat berusia yang terbilang belia. Dari enam tahun.

Delapan belas tahun lalu, orang tua Katha bukanlah orang susah. Mereka pebisnis yang hobi jalan-jalan. Harvard tahu hal detail ini dari Katha sendiri. Ayah Katha adalah pemilik rumah makan. Setiap menu baru inovatif yang ia sajikan, berhasil membuat karyawannya terkesima. Besoknya mereka semua muntaber.

Ibu Katha punya pekerjaan yang lebih mumpuni. Terlihat berseni, namun lebih buruk dari air seni. Dia seorang penulis skenario FTV. Sejak kedatangannya ke sebuah rumah produksi yang hampir bangkrut, Ibu Katha berhasil menyelamatkannya dengan menulis naskah yang mampu membuat rating penjualan meningkat. Sayang, dia terlalu polos. Kemampuannya hanya diupah dengan beberapa lembar dollar Akerima dan sekantung sup daging dingin.

Akibatnya, mereka tak punya waktu. Pernikahan hanya ajang untuk meninggikan ego. Pekerjaanlah yang benar-benar menjadi pasangan masing-masing . Mendengar Katha yang dikeluarkan dari Sekolah Dasar saat usia sembilan tahun karena berhasil membuat guru mimisan hanya dari cerpen fantasi erotis-nya, mereka tetap tidak peduli. 

"Mau punya mimpi atau bahkan mati di kolong jembatan, kami hanya berhak mencari uang untuk kelangsungan perutmu. Terserah kalau kau sudah terbius dengan film dewasa. Kami bahkan tidak peduli jika kau tidak ingin menyambung sekolah lagi."

Dan Katha tidak bersekolah hingga kini. Tak pernah sekali pun ia merasakan duduk di bangku SMP atau sekedar menangis saat menunggu hasil Ujian Akhir di bangku SMA. 

 Harvard menghembuskan napas. Katha pekerja keras, hanya saja kehilangan arah. Beruntunglah orang baik seperti dia menemukan domba manis yang tersesat ini.

"Bagaimana progress novel erotismu yang baru?"

"Yah, cukup baik ... hanya saja, aku ingin menghentikan kecanduan menonton film dewasa."

"Oh, bagu—Hah, kau mengigau?" Harvard jauh lebih tidak terima saat pertama kali ia memungut Katha sebagai asisten, gadis itu malah bilang dia tidak bisa menghidupkan laptop. Saat-saat suram dan tidak lagi bersekolah, Katha terbiasa menulis naskah novelnya di kertas sambil terus mendengar percakapan film. 

"Katha, jika diibaratkan hidup, hanya menonton dan menulis itu yang bisa jadi satu-satunya sumbermu untuk makan."

"Iya, aku tahu. Hanya saja, makin ke sini, kupikir itu bukan kebiasaan yang baik." Katha menggaruk tengkuk. "Kau tahu, Profesor, maksudku, aku barangkali bisa saja menulis hal lain yang lebih bermanfaat. Hal semacam ... yah, kau tentu tahu."

"Kau masih ingat alasanku mengangkatmu sebagai asisten?"

"Aku tidak ingat. Itu sudah empat tahun yang lalu."

Harvard ingin melanjutkan petatahnya hingga bermuara ke hal yang sama; menasehati Katha. Namun, ia pikir, ini bukan urusannya. "Lupakan. Kalau memang itu yang kau mau, silakan."

"Anda mengizinkanku untuk mengurangi kecanduan sialan itu?"

"Lah, itukan terserahmu. Jangan merengek ketika editor memintamu bekerja lebih keras dengan genre novel barumu."

***

"Madam, punya uang?"

Madam tidak kaget saat anak sulungnya yang sangat cantik bak model—namanya Trish—menadah dengan kedua tangan. Senyumnya pudar saat Madam menggeleng. "Kau punya tubuh yang sehat, mari bekerja keras."

"Job-ku sedang sepi, Madam."

"Cari pekerjaan lain. Kau cantik, kenapa tidak coba jadi model?"

Trish membuang napas, di depan tenda reyot milik ibunya, ia menarik sebuah kursi. Terduduklah wanita dengan usia dua puluh dua tahun itu sambil penuh menung. Madam masuk ke dalam tenda, menghentikan lamunannya dengan menempelkan sebuah kaleng kola. "Trish, memeras ibumu yang berusia lima puluh tahun itu bukan salah satu yang kuajarkan."

"Aku tahu Madam. Hanya saja, menjadi model? Aku ini terlalu hina."

"Bukannya itu dulu mimpi—"

"Iya, itu dulu mimpiku!" Ketika kalut, nada bicara Trish akan meninggi. "Hanya saja, pelacur macamku tidak pantas untuk menginjak panggung itu lagi! Madam, aku hancur ...."

"Tenangkan dirimu, Nak." Madam membuka kaleng kola, meminumnya, lantas menuang langsung ke tenggorokan Trish. "Coba minta pada adikmu. Keuanganku akhir-akhir ini sedikit buruk."

Trish mengangguk, ia memeluk Madam dan pamit. Seperti biasa, tenda ramal Madam memang jarang beroperasi di musim gugur. Terlebih lagi ini masih pukul sepuluh pagi. Beberapa gadis dengan seragam manis khas Akademi Akerima menyapanya. Sekali-dua kali Madam tersenyum.

"Selamat Siang, Madam. Ingin nonton—"

"Cukup, tidakkah kau ingat dengan ramalanku terakhir kali?"

"Ah, ingatanku jangka pendek. Kalau Madam berkenan, bolehkah aku mampir untuk dapat mengembalikan ingatan tentang ramalan itu?"

Dia tersenyum di saat senyum Madam pudar.

***

Nb: Ngetik tuh capek banget, mikirin alurnya apalagi. Tapi sepadanlah, kalo mas-mbak-nya mau nekan tombol bintang ama komen. Terima kasihh ^^ 

(Insya allah diusahakan up tiap hari) 

KATHARSIS [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang