"Kau bercanda?"
"Berikan aku beberapa leluconmu, sekarang."
Ed mendengus, wajahnya terlihat kesal, tapi beberapa otot pipi itu bertahan agar tidak menghambur tawa. Ia memerika ponselnya. Menggeser ke bawah tepat di dalam aplikasi foto yang berisi banyak tangkapan layar dari twitter. "Apa perbedaan 'Soto' dengan 'Coto'?" Tanyanya, menahan tawa.
"Aku tidak tahu."
"Kalau 'soto' dari daging sapi, kalau 'coto' dari daging capi."
"AWOKWOKOWK." Ed melotot saat tawa menggelegar Katha yang terdengar dipaksakan mengisi ruang-ruang editor. Beberapa kolega yang berjalan terburu-buru menegurnya. Para editor dengan kantong mata dan menunggu air panas untuk kopi lebih julid lagi.
"Tidak, ini mustahil. Katha, kau tidak pernah tertawa saat kuberi jokes bapak-bapak."
"Dan aku tertawa karena akhirnya aku sadar kalau itu memang lucu." Katha menyilang tangan dan kakinya. "Sekaligus sangat yakin kalau aku akan keluar dari genre novel terkutuk ini."
"Mohon maaf, kau tidak bisa terburu-buru." Mengunci ponsel, keadaan kembali serius. Ed menatap tajam Katha, mencoba menggoyahkan keinginannya. "Setidaknya ada beberapa novelmu yang masih terus dicetak tidak peduli setua apa pun itu. Belum dengan novel baru limited edition yang bakal kau tanda tangani dua bulan lagi. Sepuluh juta ekslempar dan kau sudah berjanji. Lalu, sekarang? Naskah yang sedang kau garap ini? Kau mau meninggalkan semuanya?"
"Ed, coba kau berada di posisiku." Katha membuang napas. Bibirnya kelu masih belum bisa menceritakan apa yang ada di dada dan benaknya. Mata sipit itu mengerling keluar jendela ruang Ed bekerja. Ia menemukan seseorang yang cukup menarik untuk di ajak makan siang.
"Kau tidak akan tahu bagaimana sulitnya aku hidup dengan mata yang terus melihat dosa." Katha tersenyum, beranjak pergi dengan meninggalkan kertas memo berisi catatan penting mengenai naskah novel yang bakal digarap.
"Kalau kau berhenti menulis genre erotis, selanjutnya apa?"
Katha membeku di ambang pintu, detik berikutnya ia tersenyum bangga. "Barang kali aku bakal jual ceker pedas."
"Jangan lupa stan Pop-Ice-nya!" Ed tersenyum sarkas.
***
"Sayang, harusnya kalian mengajakku juga untuk makan siang bareng, dong!"
Makan siang untuk perut Remm sebenarnya sudah lewat. Cowok seblor ini punya jadwal yang beda dari kebanyakan orang. Penelitian dan tugas esai-nya belum selesai, namun beberapa gadis sosialita dengan tubuh dililit Channel dan LV itu meninggalkannya. Mereka terkikik karena sebentar lagi bakal dijemput pacar masing-masing, tidur berpelukan di sebuah apartemen dan—Remm tidak mau memikirkan hal selanjutnya.
"Aku tahu kau tidak punya harga diri, tapi jangan mempermalukan dirimu sebegitunya."
"ASTAGA KATHARSIS!" Katha yang baru saja keluar dari Penerbit Akerima membekap mulut Remm yang sama sekali tidak punya 'rem'. Gadis berkupluk itu beruntung karena makan siang kali ini tidak sehambar sebelumnya. "Mau makan siang bersamaku?"
Remm tersenyum cerah. Cowok setinggi satu koma tujuh meter itu memutari Katha saking bahagianya. "Kau yang traktir, ya."
Katha pikir itu bukan hal yang buruk. Hanya saja, sebagai orang yang baru pertama kali membelanjakan seseorang, Katha kena batunya. Tepat di seberang Penerbit Akerima, berdiri sebuah KFC dengan rating yang cukup memuaskan. Remm memesan banyak paket kombo dan belasan dada ayam goreng. Jangan lupakan kola, kentang goreng, dan burger-nya.
"Katha, ayo, dimakan. Aku sudah memesan banyak untuk kita."
"Melihatmu makan aku sudah kenyang."
Pipi Remm merona, hanya saja itu tidak terlihat romantis karena sekitar mulut dan ujung bibirnya sudah dihias mustard dan mayonaise. "Katha, kuharap kau tidak mencoba menggodaku."
"Kenapa?" Katha tampaknya akan menjadikan kegiatan menggoda Remm sebagai hobi baru agar kecanduannya perlahan hilang. "Kau takut jatuh cinta padaku, hm?"
"Ti-tidak juga, sih."
"Aku tidak akan jatuh cinta pada orang yang beraninya memeras dompet perempuan." Katha tertawa karena leluconnya, meminum kola dan menyentuh sepertiga nasi dengan ayam. Sungguh, dia jadi tidak terlalu berselera makan setelah menghitung semua total belanjaan Remm.
Selesai membayar dan menyadari uang bulanannya hanya tinggal dua puluh persen, Remm mengusap-usap puncak kepala Katha sambil tersenyum. "Terima kasih traktirannya, tapi aku juga mau McFlurry Oreo—"
"Ini bukan McDonald," bantah Katha menjambak rambut Remm yang hanya bisa tertawa canggung.
***
"Ada yang ingin kutanyakan."
Karena sisa uang tidak cukup, Katha putuskan pulang untuk jalan kaki. Kalau Remm memang murni jalan kaki pulang-pergi dari Sekolah Dasar dulu. Katha sendiri tidak tahu di mana rumah si bego ini berada. "Apa?"
"Perasaanku saja ... atau saat kau menjumpaiku tadi, sebenarnya kau berada di Penerbit Akerima?"
Dulu Katha sempat heran, kenapa hanya Remm satu-satunya cowok yang selalu dikerubungi sosialita. Ia berteman dengan para gadis tidak dengan alasan yang jelas. Beberapa wanita mengatakan Remm hanya masuk grup mereka, minta makan. Sesekali Remm bayar dengan beberapa informasi.
Tapi yang paling mengerikan, bukan caranya mendapatkan informasi. Insting. Remm memiliki hal yang tumpul untuk dimiliki laki-laki kebanyakan. Dan memanfaatkannya dengan cara yang licik untuk mengisi perut.
"Perasaanmu saja." Pukul makan siang sudah berakhir, namun angin musim gugur juga tidak kalah dingin. Memeriksa tas genggam rajutnya, Katha tidak menemukan syal yang ia bawa tadi pagi. Mengernyit, Katha berhenti berjalan. Membuat Remm juga berhenti mendadak. "Kau mencari apa?"
"Aku tidak menemukan syal-ku. Aneh sekali," ujarnya masih mengobok tas. "Astaga, di mana aku meletakkan—"
"Katha." Matanya menoleh ke sumber suara. Saat tersadar, lehernya sudah dililit oleh sebuah syal merah-hitam kebesaran yang Remm lepas dari lehernya. "Rumahku tidak jauh dari sini, jadi kau pakai saja syal-ku. Kembalikan saat kau sempat. Terima kasih makan siangnya!"
Remm berjalan meninggalkan seorang gadis dengan syal-nya. "Ah, kau tahu! Ketika kau mengenakan syal dan kupluk, dengan tinggi segitu, kau terlihat lucu!"
Sesekali kepalanya melongok melihat Katha yang masih berdiri mematung. Cowok itu melambaikan tangan dengan wajah sangat ceria. Ia melompat-lompat. Detik berkutnya, ia berlari dengan penuh jingkrak.
Katha terdiam cukup lama. Syal hitam-merah milik seorang cowok melingkar di lehernya. Besar dan hangat. Perasaannya bergejolak. Syal itu hampir menutupi permukaan wajah saking besar dan jauhnya perbedaan ukuran mereka berdua.
Meski begitu, Katha berusaha untuk tidak terbawa perasaan. Bagaimana pun, Remm yang ia kenal hanya satu persen dari sembilan puluh sembilan persen kepribadian lainnya. Katha harus tetap berhati-hati.
Dan lagi, dia sering memanggilku dengan 'Katharsis'. Padahal itu nama pena yang bahkan tidak pernah kuberitahu kepada siapa pun. Apa jangan-jangan, dia pernah membaca novel erotis yang kutulis?
Kalau begitu, apa dia curiga aku punya kecanduan menonton film dewasa?
"Tapi, syal-nya lembut sekali." Katha tersenyum tipis saat daun musim gugur berjatuhan. "Aromanya juga menenangkan."
***
Untungnya bisa up dengan cepat, hehew. jangan lupa pantengin ig akashk_ken ya. yang punya medsos lain, boleh mutualan lah ya. vommen-nya suhu, arigathanks ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
KATHARSIS [ON GOING]
Adventure__________ Katha (22 tahun), Asisten seorang Dosen Bahasa. Nekat membuat cerpen fantasi- erotis saat kelas tiga SD, ia tidak lagi diterima dibangku persekolahan karena dianggap berdosa. Orang tuanya tidak peduli bahkan saat Katha sudah mengenal film...