8

630 80 19
                                    

"Kau yakin? Aku tidak masalah menemanimu malam ini."

Levi menggeleng dan berhenti tepat di depan pintu apartemennya. Udara sudah menusuk sumsum mereka dan akan semakin buruk jika mereka tetap diam di luar.

"Terima kasih sudah mengantar dan menjemputku malam ini. Lebih baik kau pulang, nanti kau sakit."

Levi membuka pintunya. Erwin menatap Levi lekat, lalu menghela nafas, "Jaga dirimu."

Erwin nengangguk. Setelah berpamitan, Erwin berjalan ke lift dan turun. Levi membalikkan tubuhnya. Kakinya sudah melangkah masuk ketika suara dentuman langkah kaki menggema dari tangga disusul teriakan seseorang memanggil namanya.

"Levi!"

Levi memejamkan matanya. Suara langkah kaki itu semakin mendekat dan berhenti di belakangnya. Lengan Levi ditarik dan tubuhnya diputar agar menghadap orang yang memanggilnya.

"Apa maksudmu mengatakan itu tadi?"

Perlahan, Levi membuka matanya. Penampakan wajah marah Eren menjadi fokus utamanya saat ini.

"Kita putus."

"Aku tidak menerimanya, Levi."

Nafas Eren berderu, giginya nampak seperti dia akan menerkam Levi kapan saja. Tapi Levi tidak takut.

"Kenapa? Apa tidak cukup bersama Historia sampai-sampai kau mengejarku?"

"Aku dan Historia hanya sebatas teman, tidak lebih."

"Lantas kenapa kau mengabaikan pesan kami tadi?"

"Ponselku dalam mode bisu."

Levi mengangkat sebelah alisnya, "Pasti kau tidak ingin kami mengganggu acaramu."

"Kenapa kau tidak ingin mendengar penjelasanku dulu, hah?" Nada suara Eren sedikit naik dan menekan. Lengan Levi dicengkeram erat. Matanya menatap Levi lekat. "Tidak ada yang memprediksi kalau aku akan ada di rumah Historia sangat lama."

Levi memutar matanya. Alasan itu terdengar sangat murah untuknya.

"Itu bukan urusanku. Kau sudah berjanji akan ikut tapi kau tidak bisa nenepatinya."

"Aku mencobanya! Kenapa kau tidak memahamiku?"

Bentakan Eren membuat Levi berjengit. Tapi dia cepat menguasai dirinya.

"Aku tahu caranya. Kita putus, kau boleh menghabiskan waktumu dengan Historia tanpa perlu memikirkanku."

Eren membulatkan matanya. Melihat Eren syok, Levi melepas genggaman tangan Eren pada lengannya.

"Selamat malam."

Levi masuk ke apartemennya dan menutup pintu. Eren tersadar, ia segera mengetuk pintu apartemen Levi.

"Levi. Kumohon jangan seperti ini."

Di dalam apartemen, Levi bersandar di pintu sambil menutupi wajahnya. Ketukan pintu dan permohonan Eren terdengar sangat menyakitkan untuknya.

"Levi, maaf. Ayo kita bicarakan ini baik-baik."

Tas selempangan dilepas dan dilempar ke sofa ruang TV. Levi memejamkan matanya dan menunduk. Perlahan air mata menetes ke lantai.

Eren masih mengetuk pintu dengan sabar, "Levi, aku mau masuk. Tolong buka pintunya." Merasa tidak akan ada respon, Eren menempelkan keningnya di pintu. Tangannya mengepal erat. "Aku ingin selalu bersamamu. Aku tidak mau berpisah."

Levi mengusap kasar matanya dengan lengan baju yang dikenakannya. Dia ingin sekali membuka pintu dan membiarkan Eren masuk, tapi dia tidak ingin merasakan sakit lagi. Levi sangat mencintai Eren, rasa cintanya terlalu besar dan itu tidak akan berdampak baik kepadanya.

"Eren, pulanglah!"

Eren membulatkan matanya. Suara Levi terdengar bergetar dan sangat lirih, tapi Eren bisa mendengarnya. Tidak ingin situasi bertambah buruk, Eren mengikuti perintah Levi.

"Selamat malam. Jangan tidur terlalu malam, ya?"

Setelah itu Eren menjauh dari apartemen Levi dan turun menggunakan lift. Tubuh Levi perlahan merosot hingga duduk di lantai. Kini ia kesepian. Tapi Levi harus membiasakan hal ini. Untuk kebaikannya dan untuk kebaikan Eren.

.

Keesokan harinya, Levi sudah di sekolah pagi-pagi sekali. Bukan karena kebetulan, tapi Eren pasti akan menjemputnya dan meminta rujuk. Untuk hari ini, Levi tidak ingin melihat Eren. Dia sudah bilang kepada Moblit untuk bertukar tempat duduk, jadi dia akan duduk di sebelah Hanji hari ini.

Sekolah masih sepi. Tidak banyak murid yang berada di sekolah, masih belum terasa sesak bagi Levi. Daripada hanya duduk diam di tempat duduk sementaranya, Levi memilih menyapu kelas. Hari ini dia piket. Jika pagi dia sudah menyapu, saat pulang sekolah Levi tidak perlu repot-repot menyapu lagi.

Kelas sudah bersih. Levi nengumpulkan kotoran yang ia sapu tadi menjadi satu dan membuangnya di tempat sampah. Sapu diletakkan, Levi menepuk tangannya yang ternodai oleh debu.

"Pagi sekali."

Tersentak, Levi menoleh. Matanya membulat. Mantan kekasihnya kini sedang berdiri di samping pintu kelas dan menatapnya lekat.

"Aku tahu kau sangat tidak ingin bertemu denganku," Eren masuk ke kelas dan nenemukan tas Levi tidak ada di bangkunya, "sampai pindah tempat duduk."

Nada bicara Eren terdengar sangat berbeda. Eren lebih cuek dari biasanya, tapi Levi bisa merasakan Eren sedang sedih. Hatinya tercubit, ini kesalahannya.

Setelah Eren berjalan agak jauh, Levi masuk dan berjalan ke belakang kelas. Sapu ditata pada tempatnya. Setelah itu Levi berjalan ke bangkunya. Ditatapnya Eren sekilas, tapi dia abaikan. Rupanya Eren tidak mempedulikannya. Yah, sepertinya perjalanan Levi untuk bisa move on dari Eren tidak terlalu susah.

Semakin lama, kelas semakin ramai. Levi merasa sedikit kesepian. Dia selalu duduk dengan Eren, kini ia pisah bangku dengan Eren. Suara bising Hanji tidak dapat menyembuhkan rasa kesepiannya. Pelajaran juga tanpa disadari oleh Levi sudah berjalan sejak 30 menit yang lalu. Dia baru sadar saat guru memberi tugas. Levi berusaha fokus mengerjakan tugas, tapi suara debuman pada meja membuyarkan fokusnya. Serentak semua mata menatap ke sumber suara.

"Eren Yeager, ini peringatan terakhir dari Saya. Dari tadi kau melamun terus. Keluar dari kelas Saya!"

Levi membulatkan matanya. Eren yang bertekad menjadi OSIS, menjadi teladan bagi semua murid, mampu membuat guru marah hingga diusir keluar kelas. Matanya masih setia menatap Eren yang beranjak dari bangkunya dan berjalan keluar kelas.

Ada apa?, batin Levi.

.

Hati Levi semakin resah. Ini sudah satu bulan ia melihat perubahan pada Eren. Remaja berambut cokelat itu semakin sering dikeluarkan dari kelas bahkan membolos. Bahkan Mikasa semakin membencinya. Contohnya tadi saat makan siang. Levi sedang membuka kotak bekalnya saat tangan pucat yang uratnya terlihat sangat jelas memukul mejanya.

Mikasa dan mukanya yang memerah. Dia terlihat sekali ingin memaki Levi, tapi seperti ada sesuatu yang menghalangi. Di belakang mereka, Armin menatap Levi khawatir sambil berusaha menarik lengan Mikasa menjauh.

"Karena kau, semua ini karena kau! Eren berusaha keras untukmu tapi kau mengabaikan kerja kerasnya! Dia masih mengigau namamu saat tertidur tapi lihatlah kau di sini! Kau masih sehat-sehat saja!"

Levi sedikit mengerti maksudnya, tapi dia enggan bertemu Eren setelah semua yang terjadi. Memikirkan Eren saja sudah membuatnya lelah.

Lamunan Levi terhenti ketika mejanya diketuk perlahan. Menoleh, Levi mendapati Armin sedang tersenyum padanya.

"Boleh aku berbicara denganmu?"

.

To be continue.

Loving You DeeplyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang