Dingin. Sakit. Seakan bersayap, tubuhnya melayang di udara. Terlempar akibat serangan sebuah mobil sedan.
Ia tak bisa menyalahkan siapapun. Ia yang mengambil keputusan impulsif untuk menyelamatkan seorang anak kecil dalam dekapannya.
Dapat dirasakannya anak itu bergetar ketakutan. Matanya terpejam dengan aliran air mata membasahi pipi. Kedua tangannya terkepal meremas kemeja yang dipakai penyelamatnya.
Lalu, tubuh keduanya kembali terhempas ke permukaan dengan anak itu terbaring di atas tubuh penyelamatnya yang punggungnya menyentuh langsung dengan permukaan aspal. Darah seketika merembes keluar, membubuhi cat warna merah pekat pada zebra cross.
Shock menyerang, anak itu tak berkutik sama sekali meski kesadarannya masih terkumpul. Setelah anak itu merasakan tepukan pelan di area lengannya, ia menguatkan remasannya pada kemeja pemuda itu, berusaha memberitahunya bahwa ia baik-baik saja. Dengan darah sebanyak ini, ia tau penyelamatnya ini takkan bertahan sampai penolong profesional datang. Merasa bersalah, kedua mata anak itu kembali mengeluarkan bulir bening. Ia mengubah posisi lengannya menjadi memeluk pemuda itu.
Pemuda itu berusaha menoleh ke samping. Meski sakit, ia tak mau menyiakan kesempatan ini untuk memenuhi netranya dengan salah satu dari orang tersayangnya.
Pemuda pengisi hatinya di sana. Berdiri mematung dengan mulut terbuka sedikit dan wajah pucat. Ingin rasanya ia berlari memeluk kekasihnya itu, berkata ia baik-baik saja tanpa ada yang perlu dikhawatirkan, menikmati kupu-kupu yang terasa dalam tubuhnya dan dada masing-masing yang bergemuruh yang menempel satu sama lain.
Kekasihnya itu pelan-pelan bergerak maju. Entah apa yang dibicarakannya dengan beberapa orang di sana, kekasihnya itu mulai menangis, meronta-ronta untuk datang mendekatinya.
Ah, kekasihnya. Kekasihnya yang selalu dapat membuatnya takjub dengan kinerja otaknya yang cepat, namun juga dapat membuatnya tertawa gemas dengan aksinya yang entah bagaimana dapat terkesan lucu. Padahal kalau dilakukan oleh orang lain, aksi itu akan terlihat biasa saja tanpa rasa gemas muncul di benaknya.
"Aku... um... Aku menyukaimu." Pemuda itu masih ingat kekasihnya itulah yang menjadi orang pertama yang confess. Masih tersimpan rapi di dalam memorinya wajah itu merengut, berpura-pura kesal saat ia tersenyum jahil.
"Aku juga menyukaimu." Sekejap setelah itu, mata kekasihnya membola. Otaknya buffering, barangkali ia tak menyangka perasaannya bersifat mutual. "Jadi, kamu, Tuan Hong, mohon temani hari-hari Tuan Lee agar tak lagi sendiri di antara teman-temannya yang sudah menemukan tambatan hati."
Seokmin masih ingat jelas senyuman manis eye-to-eye yang terukir di wajah Joshua itu. Perasaan senang tak terdeskripsinya saat itu pun masih dapat dirasakannya dengan jelas. Ia juga masih ingat, pada sore hari itu, dalam hati, ia berjanji air mata pemuda manis itu takkan tumpah karena dirinya. Ia akan menjadi alasan tangis pemuda dengan wajah kecil nan manis itu berhenti.
Namun, keadaannya ini baru saja membuatnya terpaksa mengingkari janji itu. Rasa bersalah menyeruak dalam hatinya, membenci keadaan ini. Dimana ia dapat melihat dengan jelas kekasihnya itu mulai menangis lebih keras. Mau tak mau, air matanya pun ikut tumpah menyadari kemungkinan ia tak dapat lagi menghentikan cairan bening itu dengan small actions-nya yang sangat disukai kekasihnya.
Seokmin tersenyum tipis. Kedua matanya terpejam, seiring dengan suara lantang kekasihnya yang memanggil dirinya dan suara sirene ambulans tertangkap rungunya.
Seokmin bukan orang yang religius seperti kekasihnya itu, namun kalau Sang Pencipta berkenan mendengarkannya, ia hanya ingin meminta kebahagiaan bagi kekasihnya dan orangtuanya yang tak sempat ia buat bangga itu.
hi, loyal readers, ehe. and welcome, new readers. hope you like this another project of mine.
perhatikan warning di description ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
dandelions [✓]
Fanfiction𝙨𝙚𝙤𝙠𝙨𝙤𝙤 𝙖𝙪 -; they didn't know they would be the next target of the ruthless fate. [ ⚠️ 𝐦𝐚𝐣𝐨𝐫 𝐜𝐡𝐚𝐫𝐚𝐜𝐭𝐞𝐫 𝐝𝐞𝐚𝐭𝐡 𝐩𝐚𝐧𝐢𝐜 𝐝𝐢𝐬𝐨𝐫𝐝𝐞𝐫 𝐩𝐡𝐲𝐬𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐚𝐛𝐮𝐬𝐞 𝐯𝐢𝐨𝐥𝐞𝐧𝐜𝐞...