[3]

827 112 10
                                    

Matanya terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matanya terbuka. Napasnya tersengal. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya meraba pelipisnya yang dirasanya dialiri air. Air mata.

Dahinya berkerut, berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Detik selanjutnya, segalanya menjadi jelas. Ia menyaksikan ajal kekasihnya.

Pasti mimpi, kan? Tapi..., kenapa terasa nyata sekali?

Posisi telentangnya berubah menghadap kiri, dimana nakasnya berada. Charger ponsel dilepaskan, lalu ponselnya diraih.

Tunggu.

Aku juga meneleponnya di dalam mimpiku.

Kerutan di dahinya semakin mendalam, kebingungan dengan apa yang terjadi. "Jam. Tanggal," gumamnya. Jempolnya tak jadi menekan kontak. Layar ponselnya di-scroll hingga mencapai laman terdepan. Sebuah angka dan tulisan kecil di atasnya yang adalah tanggal dan bulan untuk hari ini tersemat di icon sebuah aplikasi yang berupa kalendar.

"Senin, tanggal lima," gumamnya. "Bukannya... ini tanggal di mimpiku?" Bola matanya bergerak ke atas dimana jam digital tertulis. "Jam dua. Jam dimana aku menelepon Seokmin." Tangannya refleks bertengger di kepalanya, tak habis pikir dengan realita. "Hah?"

Tangannya kembali mendekati ponselnya. Sambil menggumamkan nama kekasihnya, jempolnya membuka daftar kontak, mencari nama Seokmin, meneleponnya, dan menyalakan fitur speaker.

"Halo, Shua? Kamu belum tidur?" Terdengar grasak-grusuk dan sahutan dari teman-temannya sebelum berangsur hening.

Joshua terdiam. Sama persis dengan mimpi.

"Shua? You there?" Suara Seokmin kembali mengisi keheningan kamar Joshua.

"Ya. Yes, I'm here."

"Shua kenapa?" Nadanya tenang. "Sudah jam dua, Shua. Kamu harus kerja besok."

Lagi-lagi sama.

"Aku— aku tadi mimpi kamu meninggal," ucapnya, ingin tahu apa balasan Seokmin selanjutnya.

Dengusan tawa terdengar. "Aku baik-baik saja, Shua. Aku masih dilindungi atap dan tembok-tembok putih rumah Mingyu. Ada Minghao juga. Seungkwan dan Vernon pun masih terjaga mengurusi properti acara. Kami di sini saling melindungi kok, jadi kamu tak perlu khawatir. Itu hanya mimpi, oke?"

Persis.

Kalimat sepanjang itu bisa sama persis?!

"O-oh, iya."

"Tidur, ya? Kamu masih magang nanti pagi. Masa rekor datang tepat waktumu hancur karena mimpi buruk?"

Sudah, cukup. Joshua harus menanyakan ini. "Seok, kamu percaya dengan precognitive dreams?"

"Um... mimpi yang memprediksi masa depan? Memang ada satu-dua kejadian dalam mimpi yang akan terjadi di masa depan, tapi kalau maksudmu seluruh kejadian di mimpi, itu sepertinya tidak mungkin."

"Iya, kan? Tak ada mimpi semacam itu, kan?" Saking semangatnya dirinya, posisi berbaringnya kini berubah duduk. Dan baru disadarinya dirinya sedari tadi berkeringat sehingga piyamanya kini menempel pada punggungnya.

Gumaman mengiyakan terdengar. "Aku yakin hal semacam itu tak ada."

Akhirnya, Joshua dapat bernapas lega. Ia kembali berbaring. Mematikan fitur speaker, ia menempelkan ponselnya pada telinganya.

"Memangnya ada apa kamu bertanya begitu?"

"Ah, tidak. Tidak ada apa-apa. Kamu masih mengerjakan pendahuluanmu?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Sepertinya aku akan bergadang sampai jam empat untuk itu. Kebetulan kelas kami nanti dibatalkan, jadi kami kosong seharian."

"Ya sudah, tidur yang cukup, ya? Aku lanjut tidur dulu," izinnya.

"Iya. Good night, baby."

"Night." Lalu, sambungan dimatikan.

Napas pemuda kelahiran Los Angeles itu perlahan berangsur tenang. Lega rasanya mengetahui kekasihnya baik-baik saja dan bahwa precognitive dreams tak nyata. Punggung tangannya bergerak melap sisa-sisa keringat yang belum mengering di dahinya. Sedangkan, tangan satunya menepuk pelan dadanya, mengisyaratkan jantungnya yang sedari tadi bekerja terlalu keras untuk menurunkan frekuensi memompa.

Matanya kembali terpejam, menjemput alam mimpi dengan perasaan tenang.

Namun, yang tak disadarinya ialah percakapan antara dirinya dan kekasihnya setelah menanyakan isu mimpi yang memprediksi masa depan itu juga sama persis dengan percakapan di dalam mimpinya.

Ah, otak di subuh hari pukul dua memang sulit untuk diajak berkompromi.

Ah, otak di subuh hari pukul dua memang sulit untuk diajak berkompromi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
dandelions [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang