Iris matanya dibebaskan untuk menangkap cahaya yang masuk melalui celah-celah gorden. Tautan jemari dan rengkuhan yang semalam dirasakannya kini hilang. Tadi siang, setelah ia menghabisi bubur dan menenggak obat demam sebelum kembali tertidur, Seokmin diantar oleh Seungcheol—berkat sedikit paksaan dari Joshua untuk menghindari bus dan kereta—untuk kembali mengunjungi apartemen Mingyu, dimana Seokmin tadinya berencana untuk menginap demi tugas akhir, menghadiri jadwal bimbingan dengan sang dosen, dan akan kembali lagi nanti sore dibantu oleh tumpangan dari Mingyu.
Selimut yang menutupi sebatas area perut disingkap. Ia berusaha untuk duduk meski pusing masih menyerang kepala. Telapak kaki didaratkan di ubin kamar sebelum ia melangkah keluar.
"Briefing dulu, kan?"
"Iya. Di ruangan yang sama dengan kemarin."
Percakapan kedua housemate sekaligus sahabatnya itu tertangkap indera. Ia yang berjalan menunduk spontan mendongak dan menemukan dua sahabatnya itu sedang mengenakan sepatu masing-masing.
"Sudah mau pergi, ya?" Ia menduduki kursi meja makan, menghadap ke arah ruangan petak kecil yang dipisahkan pintu geser yang terbuka.
Perhatian keduanya teralihkan mendengar pertanyaan itu. Jeonghanlah yang menanggapi pertama. "Iya, ada briefing dulu, jadi harus pergi lebih awal."
"Tak apa-apa di rumah sendiri, Shua?" Seungcheol bertanya. Sepatunya sudah terpakai. Ia berdiri, menunggu Jeonghan.
Joshua mengangguk, menandakan ia tak keberatan dengan itu.
"Lapar tidak? Kau hanya makan bubur tadi," timpal Jeonghan.
Joshua menggeleng sambil tersenyum tipis. Bersyukur di tengah-tengah kefrustrasiannya terhadap jebakan semesta ini, masih ada yang bisa membuatnya tersenyum, meski hanya dengan perhatian-perhatian kecil.
Simpul tali sepatu Jeonghan akhirnya terikat sempurna. Ia bangkit dari duduknya di lantai, lalu menyampirkan tas punggungnya. "Kami pergi, Shua," pamitnya.
"Nanti Seokmin datang, kan?" Suara berat Seungcheol terdengar setelah pintu depan terbuka. Wujudnya sudah tak memenuhi penglihatan Joshua. Kebiasaan sekali bicara dari pintu depan.
Joshua hanya mengangguk.
"Iya, katanya." Perantara menjadi tugas dadakan Jeonghan sebelum akhirnya kedua sahabatnya itu pamit pergi melangkah menuju rumah sakit tempat mereka bekerja.
Hening menguasai apartemen sewaan itu. Dapur kini menjadi fokusnya. Memori masa kecilnya terlintas. Teringat dengan ibunya yang sering membuatkannya minuman herbal, tetapi ia berikan pada tanaman-tanaman di rumah karena rasa pahit yang dibencinya. Ironi sekali, setelah jauh dari rumah, keinginannya untuk mencicipi herbal itu menguasai tubuh.
"Hello, Joshua?" Suara seorang wanita yang terdengar dari ponsel pemuda itu menjadi pemecah keheningan.
"Mom, hi." Joshua tersenyum. Tenang rasanya mendengar suara wanita yang melahirkannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
dandelions [✓]
Fanfiction𝙨𝙚𝙤𝙠𝙨𝙤𝙤 𝙖𝙪 -; they didn't know they would be the next target of the ruthless fate. [ ⚠️ 𝐦𝐚𝐣𝐨𝐫 𝐜𝐡𝐚𝐫𝐚𝐜𝐭𝐞𝐫 𝐝𝐞𝐚𝐭𝐡 𝐩𝐚𝐧𝐢𝐜 𝐝𝐢𝐬𝐨𝐫𝐝𝐞𝐫 𝐩𝐡𝐲𝐬𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐚𝐛𝐮𝐬𝐞 𝐯𝐢𝐨𝐥𝐞𝐧𝐜𝐞...