Tanggal lima.
Lagi.
Shit.
Dan setelah mengumpat dalam hati, dengan napas mulai tersengal, kelenjar lakrimalnya bekerja, menghasilkan air mata yang menuruni pelipis pemuda berketurunan Korea itu yang terbaring telentang di atas kasur empuknya dengan lengan disandarkan pada dahi. Dalam hati ia bertanya-tanya apa tujuan semesta memberi ujian semacam ini. Mengapa semesta harus memperlihatkan kematian kekasihnya berulang kali? Joshua tak begitu keberatan jika umur kekasihnya tak begitu panjang, asal memang itulah garis takdir pemuda dengan cengiran konyol yang selalu dapat membuatnya tersenyum itu, tetapi kenapa adegan itu harus membuat retinanya berkali-kali mengirimkan kejadian itu ke dalam otaknya?
Joshua lelah.
Tepat pada hari ini, sudah kali keempat ia menemukan angka lima di bawah jam digital yang tersemat di lock screen ponselnya.
Dan ia kecewa. Terhadap dirinya yang tak berhasil menyelamatkan kekasihnya kemarin dan membebaskan dirinya sendiri dari jebakan ini.
Joshua akhirnya kembali menelepon sang kekasih setelah tangisannya mereda, dan tak sampai nada dering ketiga, suara Seokmin dan grasak-grusuk dari seberang sana memenuhi ruangan gelap itu. "Halo, Shua?"
Tangisan kembali menderas. Joshua spontan menutup mulutnya dengan tangan. Ponsel yang tadinya diletakkan dekat dengannya, dengan fitur speaker menyala, dijauhi. Padahal ia tak berencana berbicara sambil menangis.
"Shua? You there? Ketiduran sebelum aku angkat, ya?" Suaranya berubah lebih lembut dan sedikit berbisik saat pertanyaan ketiga terlontar. Ia terkekeh gemas, mengira asumsinya itu benar adanya. "Aku matikan, ya?"
"Seokmin...," gumamnya di sela-sela sesenggukan dan rongga pernapasannya yang mulai menyempit. Panic attack-nya kembali kambuh. Sial.
"Eh, kenapa?!" Suaranya berubah panik. "Iya, maaf, tadi aku mau matiin sepihak. Kirain kamu ketiduran lagi," lanjutnya buru-buru.
Kalau saja Joshua sedang tak menghadapi jebakan semesta, ia pasti akan tertawa membayangkan mata membola Seokmin ketika buru-buru mengatakan apapun—literally apapun, yang tak masuk akal sekalipun—untuk meredakan tangisnya. Tetapi kali ini, otot wajahnya tak ingin bekerjasama membentuk senyuman, dan kelenjar lakrimalnya terus bekerja memproduksi cairan bening yang membasahi mata dan pelipisnya.
"Sini." Hanya itu yang dapat Joshua jadikan balasan. Frustrasi dengan segalanya, ia hanya ingin bertemu, ingin mengurung kekasihnya dalam penglihatannya. Otaknya yang masih belum bisa berpikir jernih itu berpendapat, setidaknya kalau Seokmin terus berada dekat dengannya, kesempatannya untuk mencegah kematian kekasihnya itu lebih besar.
"Ke—ke mana? Apartemen? Iya, iya, OTW." Telepon dimatikan setelah nada panik dan terburu-buru itu tertangkap rungu milik si pemuda Hong.
Selama sepuluh menit kemudian, napas berhasil Joshua netralkan, sebelum indera pendengarannya menangkap suara langkah kaki terburu-buru dari luar kamarnya dan samar-samar suara sahabatnya yang menanyakan tujuan sang kekasih bertandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
dandelions [✓]
Fanfiction𝙨𝙚𝙤𝙠𝙨𝙤𝙤 𝙖𝙪 -; they didn't know they would be the next target of the ruthless fate. [ ⚠️ 𝐦𝐚𝐣𝐨𝐫 𝐜𝐡𝐚𝐫𝐚𝐜𝐭𝐞𝐫 𝐝𝐞𝐚𝐭𝐡 𝐩𝐚𝐧𝐢𝐜 𝐝𝐢𝐬𝐨𝐫𝐝𝐞𝐫 𝐩𝐡𝐲𝐬𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐚𝐛𝐮𝐬𝐞 𝐯𝐢𝐨𝐥𝐞𝐧𝐜𝐞...