epilogue.

891 93 11
                                    

Lelaki muda yang kini menduduki bangku kuliah tahun ketiga itu berjalan cepat di koridor bernuansa putih itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lelaki muda yang kini menduduki bangku kuliah tahun ketiga itu berjalan cepat di koridor bernuansa putih itu. Kantung plastik berisi beberapa jeruk bergerak pelan mengikuti irama tungkainya. Tak seperti biasa, senyumnya tak terukir. Tangannya sedikit bergetar. Otaknya masih tak bisa memercayai apa yang didengarnya melalui ponsel beberapa menit yang lalu. Kalimat yang membuatnya secara spontan bangkit dari bangku kantin di kampus dan berlari ke bangunan tinggi ini, meninggalkan dua sahabatnya yang masih ada jadwal kelas nanti siang.

Ia kini berdiri menjulang di hadapan pintu berwarna biru terang itu. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya memburu. Bulir keringat memenuhi dahinya. Tangannya yang masih bergetar terangkat mendekati gagang. Lalu, didorongnya pintu itu.

"Seokmin," pekik wanita paruh baya yang terduduk di samping bangsal. Senyum ikoniknya tersemat. Ia tertawa kecil ketika pemuda yang namanya dipanggilnya itu tersenyum canggung tanpa bergerak memasuki ruangan meski pintu sudah tertutup di balik punggung si pemuda. Ia menoleh kembali ke arah bangsal. "I'll go get some lunch, yea? Stay here."

Seokmin tak bisa melihat apa yang dilakukan si pasien akibat tirai yang menutupi setengah bangsal. Tetapi, melihat wanita itu tersenyum manis dan tak mendengar balasan apa pun, ia mengambil asumsi bahwa individu yang terduduk di atas bangsal itu hanya mengangguk.

Wanita itu mendekati pintu, membuat Seokmin refleks bergeser memberi jalan. "Duluan ya, Seokmin," pamitnya, lalu berjalan keluar setelah mendapatkan bungkukan kecil dari pemuda itu.

Napasnya dinetralkan. Tungkainya bergerak pelan menuju bangsal. Kantung plastik berisi jeruk yang tergenggam diletakkan di nakas. Tasnya dipisahkan dari punggung dan bahu dan diletakkan di sofa panjang di ruangan itu. Sesekali netranya melirik pemuda yang terduduk di atas bangsal itu.

Wajahnya masih pucat. Bibirnya tak semerah biasanya. Kedua matanya masih terlihat sayu. Tak ada senyum di sana. Kapas yang menutupi dahi dan tulang pipi tampak baru diganti. Sementara, luka di ujung bibirnya sudah mulai memudar.

Keduanya diam, mengatupkan bibir masing-masing. Yang terdengar di dalam ruangan itu hanya suara mesin khas rumah sakit yang menunjukkan kondisi si pasien sedang stabil. Dalam hati, keduanya merasa canggung.

Untuk mengusir kecanggungan itu, Seokmin bersuara, "Aku kupasin jeruknya, ya?"

Yang ditanya menoleh sedikit. Ia mengangguk dengan senyuman tipis.

Salah satu jeruk dikeluarkan dari kantung plastik itu. Ia menduduki kursi di samping bangsal yang tadi ditempati wanita paruh baya yang adalah ibu dari si pasien. Dengan tisu tergeletak di atas kasur sebagai pengganti piring, ia berhasil membebaskan kumpulan setengah lingkaran berwarna oranye itu dalam sekali kupas. Bagian putih yang menyerupai serat itu dipisahkan, lalu salah satu setengah lingkaran kecil itu didekatkan pada mulut pemuda satunya.

Alih-alih melahap setengah lingkaran itu, ia bertanya, "Kamu Lee Seokmin?"

Seakan belati tak kasat mata menghunus jantungnya, sakit dirasakannya dan untuk sedetik, napasnya tertahan. Bola matanya berkelana, menghindari tatapan yang diberikan si penanya. Akhirnya, ia menunduk sedikit sebelum menjawab pertanyaan itu dengan anggukan.

dandelions [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang