Pemuda dengan t-shirt putih yang dilapisi blazer berwarna biru dongker itu akhirnya keluar dari gedung sebuah perusahaan dimana ia mengambil posisi magang sebagai seorang auditor. Senyumnya merekah saat dinotisnya figur tegap dan tinggi kekasihnya yang juga langsung berdiri dari duduknya di sebuah kursi yang melingkari sebuah pohon.
Dengan kedua tungkainya yang dibalut celana kain berwarna biru dongker dan sepatu casual berwarna putih, ia berjalan cepat menghampiri kekasihnya itu. Pouch yang string-nya melingkari pergelangan tangan kirinya itu meloncat-loncat kecil mengikuti pergerakannya.
"Bagaimana hari ini?" Senyum lebarnya terukir. Ponsel yang sedari tadi menjadi fokusnya dimatikan dan diletakkan di dalam kantung celana.
Pemuda dengan wajah kecil itu menurunkan kurva senyumnya. Bibirnya mencebik. "Lelah," katanya dengan manja. Dirasanya tangan besar kekasihnya mengelus lembut kepala belakangnya. "Tapi, seru." Nadanya berubah antusias.
Seokmin terkekeh gemas melihat netra berbinar kekasihnya. Tangannya yang tadi mengelus rambut sang kekasih bergerak menyatukan jari-jemari panjangnya dengan milik kekasihnya. "Ayo, cari makan dulu."
Keduanya beranjak, menjauhi gedung tinggi tempat si pemegang kebangsaan Amerika bekerja. Dengan cerita pengalaman harian bekerja dari si yang lebih tua dan update mengenai tugas akhir si mahasiswa tahun ketiga, keduanya tersenyum dan bertukar kata sepanjang jalan. Hingga tanpa sadar, keduanya sudah keluar dari business district dan memasuki Chinatown. Tanpa rencana apapun tentang menu malam ini, keduanya memilih restoran dengan acak, dan akhirnya pilihan terjatuh pada sebuah restoran dumpling di samping kios bubble tea.
Indera pengecap dan lambung keduanya akhirnya selesai dimanjakan setelah dua puluh menit duduk di meja dengan sahut-sahutan dari para tamu restoran berketurunan Chinese sebagai latar. Menikmati sejuknya angin malam ditemani bubble tea di taman kota menjadi agenda selanjutnya. Keduanya menduduki pinggiran pancuran di tengah taman, mendiskusikan berbagai hal mulai dari A sampai Z, termasuk passion keduanya yang entah takdir atau kebetulan dapat hinggap di satu bidang yang sama.
"Yang paling penting, hati-hati saja sih. Keberhasilan M&A itu bukan hanya sekedar tergantung pada pintarnya manajemen kamu, cerdasnya otak para pemegang saham. Komunikasi dua arah dan berbagai penyesuaian juga dibutuhkan. Apa jadinya kalau kesalahpahaman antara perusahaan yang terlibat terjadi terus menerus?" Seokmin yang meniti perkuliahan di jurusan Finance mengakhiri penjelasannya.
Yang mendengar mengangguk. "Benar juga, apalagi kalau company culture dan sistem mereka sangat berbanding terbalik."
Gumaman mengiyakan terdengar. "Kenapa kamu bertanya? Karena Soonyoung?" Tangannya menggerakkan sedotannya, mengaduk boba di bawah sana, lalu sedotan itu diapit oleh bibirnya, dijadikan media transportasi likuid manis dan gumpalan tepung berwarna hitam itu.
Joshua mengangguk. "Sudah dengar, kan, tempatnya part-time diakuisisi?" Setelah mendapatkan anggukan, ia kembali melanjutkan, "Soonyoung tak begitu menyukai ide itu karena perbedaan tujuan bisnis. Tempatnya itu mementingkan seni di atas uang. Berbeda dengan ayah perusahaannya itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
dandelions [✓]
أدب الهواة𝙨𝙚𝙤𝙠𝙨𝙤𝙤 𝙖𝙪 -; they didn't know they would be the next target of the ruthless fate. [ ⚠️ 𝐦𝐚𝐣𝐨𝐫 𝐜𝐡𝐚𝐫𝐚𝐜𝐭𝐞𝐫 𝐝𝐞𝐚𝐭𝐡 𝐩𝐚𝐧𝐢𝐜 𝐝𝐢𝐬𝐨𝐫𝐝𝐞𝐫 𝐩𝐡𝐲𝐬𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐚𝐛𝐮𝐬𝐞 𝐯𝐢𝐨𝐥𝐞𝐧𝐜𝐞...