"Anj*ng." Rutuk Zion kecil begitu melihat siluet Pak Timi mendekati gerbang sekolah. Sudah lima belas menit berlalu semenjak bel masuk berbunyi dan Zion dengan pakaian berantakannya justru baru menginjak pelataran SMA Nusantara.
Ia buru-buru berbalik arah dan mengurungkan niat untuk melompati pagar depan. Umumnya jam segini gerbang sudah tak dijaga lagi. Sial, guru itu benar-benar menyusahkan dirinya. Sekarang mau tak mau ia harus berjalan lebih jauh menuju gerbang belakang sekolah.
"Kriekkk.."
Bunyi kaleng yang tak sengaja Zion injak dengan sepatunya.
"Siapa itu?"
"Anj*ng." Terhitung sudah dua kali Zion berkata kasar di pagi hari. Kebiasaan buruk yang sudah tak terhindarkan lagi.
Zion lantas buru-buru berlari tanpa memalingkan wajahnya ke belakang. Tidak lupa ia menendang kaleng pembawa sial itu hingga terpental jauh. Dapat ia dengar derapan suara sepatu dari belakang. Apa perlu mereka kejar-kejaran seperti tom and jerry seperti ini, tidak bisakah guru itu meloloskannya hari ini saja. Bahkan Zion yakin seratus persen guru itu sudah muak oleh tingkahnya.
Dengan tubuh atletis, mudah bagi Zion sampai di gerbang dengan Pak Timi yang tertinggal jauh di belakang. Tas punggung tak berisi itu dilemparnya ke dalam sekolah. Kedua kakinya kemudian segera memanjat gerbang hingga atas dan lompat.
"Brukk.."
Tubuh Zion membentur tanah cukup keras dengan tangan yang menjadi penumpu. Ia mengibaskan tangannya yang terluka ke udara untuk mengurangi rasa perih. Goresan tersebut bahkan mulai mengeluarkan darah segar membuat Zion sedikit berdesis.
Bagitu bangun dari posisi duduknya, ia langsung disambut dengan tatapan datar seorang perempuan berkuncir satu. Sepertinya dirinya yang terjatuh membuat gadis itu sedikit terkejut. Pandangan dingin yang didapatnya berhasil membuat Zion sedikit kebingungan. Untuk pertama kalinya ia tidak tahu harus melakukan apa di depan perempuan.
Gadis berbaju olahraga itu berjalan mendekat seraya merogoh sesuatu ke kantong celananya. "Pake." Tukasnya begitu menjulurkan sebuah plester penutup luka.
Zion dengan cepat mengambilnya dan menganggukkan kepala. Wajah siswi di depannya terlihat begitu asing, apa mungkin murid baru.
"Makasi." Ucap Zion sembari melihatkan lukanya yang sudah tertutupi.
Gadis itu tak membalas lagi, ia melanjutkan langkahnya ke depan. Sedangkan Zion masih menatap punggungnya dari belakang. Di detik selanjutnya Zion seketika memalingkan wajahnya sebab gadis itu kembali berbalik. Sial, ia tak boleh ketahuan menatap secara terang-terangan seperti tadi, bisa hilang martabatnya.
"Ambil, nafas lo berisik." Sebotol air mineral disodorkan kembali dari tangan yang sama. Seperti yang diucapkannya, ia memberikan air tersebut lantaran nafas Zion yang tersengal-sengal. Meski sedang membantu, ekspresinya sama sekali tak berubah, tetap datar. Hal itu membuat Zion sedikit berfikir apa semua yang ia dapatkan tadi didasarkan rasa tulus.
"Ikhlas nih buat gue?" Kedua alis Zion terangkat seraya tangannya mengambil alih air mineral tersebut. Gadis itu tak kunjung menjawab membuat Zion canggung. Dan lagi untuk pertama kalinnya ia merasa awkward berbicara di depan perempuan.
"Kalian berdua diam di tempat." Perintah Pak Timi seraya berkacak pinggang dengan nafas yang ngos-ngosan. Tangannya dengan cepat mengambil kunci dan membuka gerbang. Ia berjalan mendekati dua murid tersebut.
"Kamu ngapain disini? Bantuin dia loncat ya?" Interogasi Pak Timi menunjuk gadis di sebelah Zion.
"Enggak pak." Jawab gadis itu tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHREYA
Teen FictionIni adalah kisah tokoh ketiga wanita dalam setiap cerita pada umumya. Dia yang dicampakkan dan terabaikan.... "Mau jadi pacar gue nggak?" "Enggak." "Mau jadi istri?" "Mimpi lo." . . . . "Shreya." "Tunggu aja, lo bakal suka sama gue!" Dua remaja yang...