Bab 2: Reina

3.3K 132 27
                                    

[[Mohon jangan khawatir. Aerin telah memeriksa seluruh planet ini dan tidak merasakan kehadiran sistem seperti Aerin ataupun keberadaan tak kasat mata lainnya. Jadi Aerin kira Anda bisa tenang dan tidak perlu mengantisipasi datangnya pertempuran tingkat tinggi]]

"U–Uh."

Aku mengangguk mengerti. Tapi dia hanya memeriksa seluruh planet kah... apakah itu berarti di luar planet – yaitu alam semesta – akan ada keberadaan tak diketahui lain? Sebaiknya aku tidak memikirkan lebih lanjut masalah ini sekarang.

[[Lalu Master, untuk misi pertama Anda menuju jalan yang penuh nafsu, Aerin akan memberikan ini]]

Aerin membuat tubuhnya melayang didepan mataku dan setelah dia mengatakan itu, sebuah layar biru mengambang muncul didepanku. Aku mengangkat alisku dan membacanya.

>>Menghilangkan keperjakaan Anda dan melakukan seks dengan satu gadis. Durasi waktunya adalah satu jam dimulai dari sekarang (Pergi ke pelacur dilarang)<<

Selangkanganku yang masih tegang menjadi lebih tegang ketika melihat kata seks dan aku agak terdiam.

"Bukankah ini mustahil untuk dilakukan? Kuberitahu saja, tapi aku tak ingin menggunakan kekerasan kepada wanita hanya untuk melakukan seks lho, Aerin."

[[Aerin sudah mempertimbangkan itu. Yang dimiliki Master hanyalah nafsu besarnya saja, jadi mustahil untuk menemukan wanita yang ingin melakukan seks dengan Anda dalam waktu sesingkat ini. Maka dari itu Aerin akan memberikan bantuan kecil kepada Anda. Selama itu tidak berlebihan seperti langsung membuat wanita jatuh cinta mati-matian kepada Anda atau menaikkan nafsunya agar bisa melakukan seks dengan mudah. Jika penipuan kecil seperti ilusi, maka Aerin tidak keberatan]]

Ilusi? Apakah itu bisa? Aku mengambil ponselku dan mencoba mencari ide.

Lalu, aku menemukannya.

---

Aku berjalan menuju ruang tamu. Posturku tegap, sampai terlalu tegap, hingga menjadi sedikit kaku. Namun aku mencoba mengendalikannya dan berhenti didepan kakak perempuanku yang sedang malas-malasan di sofa sambil membaca buku. Saat dia memperhatikan kehadiranku, dia menoleh kearahku dan mengangkat alisnya.

"Ou? Apakah kau butuh sesuatu? Jika makan malam aku telah menyiapkannya dari tadi kok. Selain itu, kenapa kau memakai kalung itu? Nampaknya cukup aneh. Tren baru?"

Aku menggelengkan kepala pada perkataan kakak perempuanku, yang memiliki nama Reina, lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum menatap dirinya dengan tatapan tajamku – yang telah melalui berbagai pertempuran dan ditempa menjadi baja.

Aku membuka mulutku.

"Kak, ayo kita melakukan seks."

"Huh?"

Kakak perempuanku Reina tertegun sejenak, namun beberapa detik kemudian wajahnya memerah dan dia mendorong mundur dirinya dengan cepat, yang dihentikan oleh sofa dibelakangnya.

"A–A–A–Apa yang kau katakan Ou!? K–Kita adalah saudara kandung lho! Kenapa kau mengatakan hal aneh seperti itu! M–Mana mungkin aku menerimanya!"

Aku sudah menduga dia akan menjawab seperti itu dan memutuskan untuk melaksanakan aktingku sekarang.

Aku membuat pandangan mataku menjadi sedih.

"Sebenarnya... Aku dipaksa melakukan ini."

"H–Huh?"

Aku mengabaikan kebingungannya lagi dan menyentuh kalung yang mengikat leherku dengan erat.

"Alien memaksaku untuk melakukan ini. Leherku telah dipasangi oleh sebuah bom dan akan meledak dalam waktu satu jam kedepan jika aku tidak melalukan seks incest bersamamu kak. Aku sebenarnya tidak ingin melakukan seks dengan kakak dengan keadaan terpaksa seperti ini... Namun Alien itu terus memaksaku dan aku tidak punya pilihan lain selain menerimanya."

"Tidak ingin melakukan seks dalam keadaan terpaksa...? A–Apakah itu berarti kamu ingin melakukan s–seks denganku jika itu dalam keadaan normal?"

"Aku tak menyangkalnya. Tapi soal bom, ini beneran kak. Lihat, bahkan tentara nasional negara kita mengatakan kalau bom yang ada di leherku ini adalah nyata dan akan meledak satu jam kemudian."

"Aku tak percaya! Lagipula Alien itu dari awal memang tidak ada! Pasti ini bohongan...!?"

Awalnya kakakku masih tidak percaya, namun setelah aku menunjukkan postingan dimana aku bertanya kepada tentara nasional, ketidakpercayaan muncul di ekspresinya. Dia lalu menarik diriku ke pelukannya dan mengambil ponselku, untuk membandingkan bom kalung yang ada di leherku dan bom kalung yang ditunjukkan di foto.

"I–Ini beneran! G–Gimana nih, Ou! Apakah kamu tidak bisa melepaskannya saja?"

Aku menggelengkan kepalaku dan memberikan jawaban negatif kepadanya.

"Sayangnya tidak bisa. Alien itu mengatakan kalau aku melepaskannya secara paksa, aku akan meledak dan lenyap seketika."

Wajah kakakku berubah menjadi ngeri.

"T–Terus gimana dong!?"

"Seperti yang kubilang dari awal. Kita akan melakukan seks sebelum bisa melepaskannya."

Tubuhku lebih tinggi darinya saat berada dalam pelukannya. Tubuh bagian bawahku menyentuh perutnya saat penisku mulai menjadi keras. Tentu, dia pasti merasakannya saat aku melihat pipinya semakin memerah.

"A–Apakah tak ada cara lain?"

"Mungkin aku harus menerima takdirku dan mati saja?"

"J–Jangan!"

Kakakku menarik punggungku dengan lebih erat. Dari sini aku mengetahui kesungguhannya untuk tidak ingin kehilangan diriku dan ini membuatku merasa sedikit bersalah.

Aku megambil lehernya dengan lembut dan mendekatkan wajahku kepadanya.

"Kalau gitu mari bercinta, kak."

"T–Tapi... –!?"

Aku mencium bibirnya tanpa menunggunya mengatakan apapun. Kedua tangannya yang memegang punggungku menggenggam erat bajuku sebagai respon kejutannya. Aku mencoba memasukkan lidahku kedalam mulutnya namun berhenti untuk menggali lebih dalam saat dia menggunakan giginya untuk menggigit lidahku.

Aku menarik ciuman kami. Lidahku berdarah. Aku bisa merasakannya. Mulutku terasa asin. Aku menjilat bibirku.

Kakakku terengah-engah. Wajahnya penuh keringat. Pandangannya menoleh kesamping, namun kedua mata birunya tetap menatapku. Pipinya memerah. Rambutnya yang telah berantakan menempel ke kulitnya. Baju yang dia pakai mulai mengendur, memperlihatkan tengkuk lehernya yang berkeringat juga.

"A–Apakah nafsumu sudah tidak bisa ditahan, Ou?"

"Ya. Aku sangat, ingin melakannya denganmu, kak– tidak, Reina."

Aku bisa merasakan ototnya berkedut saat aku memanggilnya dengan nama langsungnya. Matanya tidak berani menatapku langsung lagi dan pipinya semakin memerah.

"J–Jika kita melakukannya, k–kamu nggak akan bisa melarikan dari ini lho."

"Aku sudah menyiapkan berbagai rute setelah memilihmu, Reina. Jika orang tua kita tidak menyetujui cinta kita, kita akan pergi ke kemanapun yang kita mau. Tabunganku sudah dipenuhi uang, kita bisa menggunakan itu."

"S–Sungguh kata-kata yang pasaran.... Tapi cinta ya... bukankah itu hanya nafsu?"

"Cinta dan nafsu – itu tak ada bedanya kan?"

Aku mendekatkan wajah kami berdua lagi, lalu melakuan ciuman. Awalnya dia agak terkejut lagi, namun perlahan dia tidak melakukan penolakan. Dia sudah menerimaku. Kami saling bertukar air liur. Kedua lidah kami bersentuhan.

Jari-jariku merayap melalui punggungnya dan menyentuh dadanya yang ada dibalik kemejanya. Sayangnya aku tidak berpengalaman dalam hal ini, jadi aku hanya bisa menikmati payudaranya dari balik kain.

Aku merasakan nafasku hampir habis dan dengan cepat melepaskan ciuman kita, meninggalkan jejak air liur yang terputus saat wajah kami menjauh.

"B–Bisakah kita melakukan ini dikamarku?"

"Baik."

Jika itu keinginan Reina, aku akan menerimanya.

Zou: The Lust (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang