6

851 331 14
                                    

*marga Jisung diubah untuk keperluan cerita.

[Musik pertama]

...


Apa yang membuatku bangga menjadi kakak Seo Jisung? sifat hangatnya, caranya berinteraksi dengan orang-orang, bagaimana dia bisa mencairkan suasana dengan tingkah ajaibnya, bagaimana dia menghargai setiap detik dihidupnya dengan cara yang berbeda dari kebanyakan.

Saat melihat Jisung, aku pikir mungkin dia hanya tau bahwa ia hidup hanya untuk hari ini. Dia berpikir bahwa setiap hari adalah hari terakhirnya, karena itu dia tak begitu terobsesi untuk memikirkan cita-cita. Dia tidak seperti Chan yang ambisius, tapi juga tidak seperti aku yang terlalu santai. Jisung adikku, hidup dengan menikmati alur seperti awan yang terseret angin namun juga tak luput untuk menghargai rotasi. Dia tidak sempurna, tapi bagiku dia yang terbaik.

Jika kenangan merupakan kaset, maka Seo Jisung adalah kaset yang kujaga dengan amat baik, kuletakkan di kotak paling indah, namun juga jadi hal yang paling takut aku putar kembali. Seo Jisung pula ibarat musik paling hangat, paling berkesan namun yang paling sulit untuk kuputar.

Jisung terlahir dengan banyak masalah. Dokter berkata bahwa mental Jisung akan sedikit tertinggal daripada anak sebayanya. Dia akan sangat hiperaktif dan daya tahan tubuhnya sangat lemah. Jadi, kami perlu menjaganya dengan sangat ekstra. Mungkin kondisi Jisung berhubungan dengan usia ibuku yang sudah cukup tua ketika akan melahirkannya. Tapi waktu itu, aku tak mengerti apapun. Aku tak mengerti kalau dia berbeda. Bagiku dia tetap anak kecil yang lucu. Aku terlalu bersemangat karena memiliki adik.

Namun, apa yang membuat kenangan Jisung jadi menyakitkan adalah bagaimana dia meninggalkanku. Karena aku berpikir, bahwa itu mungkin salahku. Salahku karena tidak mendengarkan perkataan ibu untuk menjaganya saat kami pergi ke kolam renang. Salahku bahwa aku lupa dia perlu perhatian ekstra. Padahal ibu sudah bilang... padahal seharusnya aku tidak membiarkannya.

Jisung meninggal karena tenggelam saat usiaku 15 tahun. Di usia tersebutlah kali terakhir aku menyukai diriku sendiri. Saat jisung menghilang, rasa sukaku pada diriku juga ikut lenyap. Hanya sampai 15 tahun, batasku untuk merasa berharga.

Bis berhenti tepat di depan rumahku kembali. Saat ini, masih banyak anak kecil yang berpacu menaiki sepeda dan saling memutuskan benang layang-layang. Para orang tua yang berbincang di kursi pinggir selokan sambil menimang bayi. Ada pula yang sibuk menanam tumbuhan hijau dan membakar sampah-sampah daun kering. Ada sekelompok remaja tanggung yang memanjat pohon jambu yang sudah melengkung kemudian berlari pergi saat pemiliknya datang. Dan diantara semua kericuhan itu, ada Seo Jisung yang mengucah air bekas cucian mobil dengan kaki-kaki kecilnya. Dia memegang susu kotak rasa coklat dan tertawa manyaksikan orang-orang yang kerepotan menangkapnya.

Untuk kenangan yang kali ini, hatiku terhantam dengan amat kuat. Jauh lebih kuat daripada pemberhentian sebelum-sebelumnya.

Aku merindukan dia. Aku merindukan adikku. Sekarang dia ada di hadapanku. Dia benar-benar di sana seperti tak ada kejadian apapun. Pemandangan yang indah jika hanya ada dia dan keluargaku.

Ya. pikiran itu kembali datang. Jisung adalah pemicu paling kuat untukku kembali menginginkan ketiadaan. Aku selalu berandai-andai seandainya dia tidak punya kakak sepertiku.

"Seo Jisung tunggu aku!" aku melihat diriku yang berteriak senang sambil ikut basah bersamanya. Alih-alih menangkapnya seperti yang dilakukan orang lain.

Aku tertawa. Maksudku, diriku yang ada di hari itu. Karena pada masa itu, aku tak tau apa yang akan terjadi di masa depan.

"Kenapa kau malah ikut-ikutan?" ujar ibu sambil menjewer kupingku. aku masih ingat rasanya sakit, tapi itu kenangan yang bagus.

unanswered questions ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang