[Anak yang orang tua inginkan]
...Aku punya kebiasaan termenung yang cenderung tidak bisa dikontrol. Aku bisa merenungkan mengenai hal-hal klasik bahkan ketika sedang mandi, sebelum tidur, makan dan juga ketika berdiri di ujung trotoar—persis seperti sekarang ini. Hal yang paling sering aku renungi adalah segerombol pertanyaan mengenai hidup dan mati, yang mungkin tidak akan ditemukan jawabannya—kecuali jika ada orang mati yang bisa menceritakan bagaimana alam baka bekerja—jelas itu hal yang mustahil.
Pengetahuan manusia mengenai kerja alam semesta itu sangat terbatas. Para pakar hanya bisa mendeskripsikan proses manusia bernapas, tapi tak ada yang bisa menjawab kenapa sebetulnya bernapas itu harus jadi bagian yang paling krusial pada hidup manusia. Analogi sederhana, bahwa beberapa orang bahkan merasa tak ingin menghirup udara lagi.
Tau tidak, rasanya menjadi biasa-biasa saja?
Tidak terlalu jelek namun juga tidak terlalu tampan. Tidak melarat hanya untuk makan, tapi juga tak bisa membeli semua hal yang diinginkan. Bisa melakukan beberapa hal—seperti membuat musik—namun hanya berada di batas amatir. Tidak sengsara, namun juga tidak bisa dikatakan bahagia. Semuanya berada di tengah-tengah.
Lama termenung, tiba-tiba sebuah bis berwarna Kuning berhenti di hadapaku. Aku menegakkan kepala dan menatap pintu yang terbuka tepat beberapa meter dari tempatku berdiri. Ban-ban bis itu hitam mengkilat seakan tak terkontaminasi oleh debu-debu jalanan. Seorang supir pria tersenyum padaku di balik kemudi.
Aku menyapu pandang ke sekitar karena merasa heran. Tak ada satupun manusia di sekelilingku yang terganggu dan mengindahkan bis aneh ini. Seakan-akan bis itu memang berhenti hanya untukku. Lebih peliknya lagi, aku merasa tergerak untuk menaiki benda beroda itu. Padahal aku bahkan tak tau destinasi yang ingin dituju.
"Tunggu apalagi? Ayo masuk," ajak seorang pemuda dengan setelan kemeja biru. "Kau butuh jawaban kan?"
Ya. Aku membutuhkan jawaban. Karena itu, tubuhnya mendahului perintah otak dan mulai melangkahkan kaki dengan sepatu kets kumuh ke dalam bis tersebut.
---
"Pertama, namaku Jae. Jangan tanya kepanjangannya. Kedua, apa kau sudah tau kondisimu sekarang?" tanya pemuda yang tadi mempersilahkanku masuk.
Saat ini, aku duduk di bangku deretan nomor tiga di dalam bis. Di depan ada seorang anak dengan seragam sekolah, kemudian ada pula pemuda tampan dan tinggi di bangku seberangku, serta di pojok belakang ada satu lagi penumpang pria dengan setelan biru lembut menatap ke arah jendela. Tapi jika dilihat, mereka semua menatap keluar. Bis ini terlihat amat damai.
Aku memandang pemuda bernama Jae tadi. "Ini bis menuju ke mana?"
Jae mengedikkan bahu. "Entahlah. itu tergantung kau."
Kemudian bis berhenti. Bocah dengan seragam sekolah turun sambil melambaikan tangan kepada Jae dan si supir. Dia tersenyum dengan sangat lebar seperti tak memiliki satupun beban hidup. Aku bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu senang.
"Itu karena dia sudah menyelesaikan urusannya," ujar Jae seakan tau apa yang aku pikirkan.
Meskipun aku tak mengerti, aku tertarik untuk melihat keluar jendela. Manik mataku melebar ketika menyadari ada sebuah pemberhentian bis yang amat asing karena aku tak pernah melihat tempat ini selama hidup di Korea. Haltenya berwarna putih dengan ornamen dedaunan. Sekeliling tempat ini hanya diisi dengan jalan lurus tanpa berkelok yang sangat bersih. Di depan terdapat plang besi yang melekat di pagar besar melingkar seperti daerah perbatasan. Plang itu bertuliskan 'pemberhentian terakhir'.
KAMU SEDANG MEMBACA
unanswered questions ✓
FanficBis itu bergerak karena beberapa pertanyaan. Kemudian berhenti karena sudah menemukan jawaban.