5

842 337 23
                                    

[Bocah Pencuri]

...

Pada usia enam belas sampai delapan belas tahun, ada beberapa bagian yang tersingkir dengan sendirinya dari memoriku. Bukan karena aku tidak ingin mengingatnya karena itu merupakan kenangan buruk, tapi karena tak ada yang spesial pada kenangan tersebut. Aku hanya menjalaninya seperti anak murid lainnya. Hanya hal-hal klasik seperti cabut jam pelajaran, memesan makanan di luar sekolah dan bahkan ikut-ikutan temanku mencari kerja paruh waktu hanya untuk memenuhi kebutuhan sekunder—yang tidak bisa kuminta pada orangtuaku.

Bus itu berhenti pada sebuah gedung tepi jalan yang berada tepat di ujung gang menuju ke dalam. Aku dan Jae turun dan menjejakkan kaki di semen kasar. Di sisi kanannya ada sebuah cafe dan di sudut satunya dekat dengan trotoar terdapat tenda warung makan. Tepat di seberangnya berdiri sebuah gedung bertingkat warna keabuan, yang dulu aku ketahui sebagai tempat sebuah club tari. Tempat ini lumayan ramai. Biasanya aku selalu terkejut dengan larian para anak sekolah yang melintasi dinding kaca minimarket sambil berteriak dan melempar tas. dan biasanya salah satu dari anak-anak sekolah yang berlari itu adalah aku-yang terkadang terlambat untuk mengisi shift kerja paruh waktu di tempat ini.

Aku mendapati diriku sendiri. Sesosok bocah sekolah yang masih berkeringat usai berlari dan dengan cepat memakai seragam kasir. Saat itu, aku terlihat sangat kurus. Mungkin karena masih berada pada masa-masa aktif.

"Ah, aku pernah bekerja paruh waktu di sini," gumamku. Dari sudut mata, kulihat Jae lega karena tidak perlu mengingatkan.

Aku mencoba menerka-nerka, hal berharga macam apa yang telah aku lupakan kali ini. Karena nyaris sepanjang bekerja sebagai kasir, tak ada yang begitu spesial. Sekali lagi-biasa-biasa saja.

"Apa kau ingat hari ini?" tanya Jae.

Aku mengedikkan bahu sambil terus menatap diriku yang satunya. Yang tengah bertopang dagu di atas meja kasir. Menunggu seseorang datang untuk mengucapkan 'selamat datang, silahkan masuk'. Terkadang aku merindukan perasaan ketika mempersilahkan seseorang untuk masuk.

Jae tidak menjelaskan untuk apa bus berhenti di sini. Tapi, tak lama kemudian aku melihat seseorang yang tak asing. Aku hampir lupa dia siapa. Sosok remaja kecil yang dulu cukup terkenal di daerah sekitar sini. Terkenal karena cerita sedih pada hidupnya. Dia yang ditinggal mati seluruh keluarganya pada usia dini. Aku sering dengar ibu-ibu atau pelanggan lain yang membicarakannya. Dia Lee Felix.

"Ini hari di mana kau kehilangan pekerjaanmu," ujar Jae lagi. Lantas arah tunjuknya menuju ke Felix. "Bocah itu penyebabnya."

Perasaanku berdesir. Seperti ada besi yang menumpuk ditenggorokanku sampai aku tak bisa menanggapinya. Mataku hanya fokus menyaksikan apa yang kulakukan pada masa itu. Sesekali bergantian menatap Felix yang sudah masuk ke minimarket. Aku terus mengamati gelagat diriku yang satunya dan juga Felix. Mencoba menerawang ingatan masa lampauku.

"Kau sudah ingat?" tanya Jae.

Felix terlihat gelisah sambil mengambil beberapa nasi kepal dan roti, kemudian memasukkannya ke dalam bajunya yang kebesaran. Raut wajahnya terkesan sangat risau sembari sesekali menatapku yang berada di balik meja kasir. Akupun juga menyaksikan diriku sendiri. Aku menyaksikan apa yang telah kulakukan. Sesuatu yang kulupakan.

"Kau tau dia mencuri, tapi kau membiarkannya."

Kalimat Jae membuat perasaanku jadi aneh. Rasa prihatinku yang tinggi pada masa itu membuatku mengabaikan apa yang kulihat. pada masa itu, Felix bukan sekali dua kali mengambil makanan diam-diam. Dia melakukannya cukup sering. Kemudian dia akan datang ke kasir dengan hanya membayar satu botol air mineral. Aku tau, kalau dia menyembunyikan makanan itu di balik bajunya. Aku tau sejak awal.

unanswered questions ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang