[Ruangan yang terkunci]
...Aku tau, aku tak boleh seperti ini. Tapi kalau boleh jujur—aku tak menyukai kakakku sendiri. Kakak laki-lakiku yang bernama Chan. Aku masih menyayanginya sebagai adik, tapi aku hampir tak pernah menaruh kehangatan terhadapnya. Semua yang aku lakukan hanya berdasarkan formalitas. Rasa sayang itu masih ada, tapi sangat kaku dan dingin. Karena apa? Karena kakakku, orang yang kaku dan dingin.
Aku akan di anggap berlebihan jika mengatakan ini, tapi keluargaku terus menyanjung kakakku dan memperlakukannya seperti putera kerajaan. Dan hal yang membuatku lebih sebal adalah bagaimana raut wajah Chan yang terlihat masih sama dinginnya bahkan ketika ia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan. Aku tak pernah melihat orang tuaku berteriak padanya, atau marah, atau apalah. Mungkin karena tak ada juga yang bisa dimaki dari dirinya kecuali sifat angkuhnya.
Aku dan Jae turun dari bis tepat di depan halaman rumahku. Pekarangan rumahku masih ada ayunan dan rimbun oleh pohon-pohon jambu. Artinya, ini masa ketika aku masih remaja tanggung, kira-kira tiga belas sampai lima belas tahun.
Aku melihat seorang bocah kecil yang masih dalam gendongan ibuku. Adikku yang paling kecil, bernama Jisung—lahir ketika aku lulus sekolah dasar. Jaraknya dan Chan jadi sangat jauh. Ketika aku melihat ayahku memasuki koper berwarna silver ke bagasi mobil, aku langsung mengerti—ini hari keberangkatan Chan kuliah di luar.
Bisa kulihat senyum bangga ayah dan ibu kala itu. Pasti senang punya seorang Chan yang bisa dibanggakan dengan dagu terangkat kepada semua orang. Anak yang tak memiliki cacat, selalu punya tujuan yang jelas, bisa mencapai apapun yang ia capai, penurut dan tentu saja memiliki prestasi akademik yang luar biasa. Orang-orang mengatakan bahwa Chan adalah anak idaman semua orang tua di muka bumi ini.
Lantas, mengapa aku jadi orang yang tidak menyukainya? Padahal seharusnya aku bangga punya kakak sepertinya. Aku tidak suka Chan, bukan karena sifatnya yang kaku dan tidak bisa di ajak bercanda—meskipun hal itu juga cukup menyebalkan. Tidak pula karena pola hidup sehatnya yang amat klasik dan kuno. Aku heran sekali kenapa dia mau makan sesuatu yang tidak enak, padahal ia tau ia hanya hidup sekali.
"Lalu kenapa?" tanya Jae padaku.
Jika ditanya begitu, aku juga tak punya jawaban konkret. Apa mungkin karena dia adalah penyebab aku jadi memandang rendah diriku sendiri? Jika memang iya, seharusnya dia bukan masalah—tapi diriku sendiri. Aku yang terlalu bodoh, bukan dia yang terlalu pintar.
"Sepertinya aku, tak menyukainya—karena dia terlalu tertutup. Dia terlalu asing. Dia seperti tak menganggapku sebagai sesuatu yang berarti," lirihku pada akhirnya.
Pandanganku mengarah ke bawah. Mengingat bagaimana aku yang berusaha untuk dekat dengannya dulu membuatku kembali sebal. Kakakku seperti membangun tembok yang besar antara aku dan dia. Dia mungkin berpikir bahwa aku tak se-level dengannya. Caranya menatapku sama sekali bukan tatapan yang mengenakkan. Seakan-akan lewat tatapan itu dia berkata 'aku tak ada waktu untukmu' dan itu selalu menghalangiku untuk berinteraksi selayaknya adik kepada kakak.
"Tapi dia benar-benar tak punya waktu," tutur Jae tiba-tiba. Lagi-lagi, dia membaca pikiranku. "Kakakmu tak punya waktu untuk bersenang-senang."
Chan seperti ruangan yang terkunci. Dan dia memang selalu mengunci diri di dalam kamar untuk merealisasikan ambisinya yang begitu kuat. Dia sangat tau tujuan-tujuannya dan dia melakukan semua sesuai rencana. Dan di dalam ruangan yang telah ia susun itu, tak ada satu orang pun yang boleh masuk. Dia asing kepada seluruh dunia selain pada ambisinya.
Posisi kami berpindah ke kamar Chan. Kamar yang tak pernah kujengah karena ibuku selalu melarangku menganggu Chan. Dulu aku selalu marah akan hal itu. Kamar Chan jauh lebih bagus dan lebih lengkap dari punyaku. Semua yang dia butuhkan ada di dalamnya. Dia tinggal bilang saja dan ayahku akan menurutinya meski harus dengan menambah hutang. Sekali lagi, karena Chan punya banyak hal yang bisa dibanggakan.
Kamar Chan memiliki ruangan yang redup. Ada satu lampu belajar yang bersinar dan Chan berada di sana bersama tumpukan kertas-kertas dan buku pelajarannya. Sungguh pemandangan klasik yang biasa kita lihat di drama dan juga film mengenai anak-anak yang rajin belajar.
"Kakakmu tak punya waktu. Karena dia adalah anak pertama. Dia yang harus bersikap paling serius untuk melanjutkan tugas ayahmu di masa depan. Dia tidak punya waktu untuk bersenang-senang."
Namun, tak selang berapa lama, aku melihat Chan memegang kepalanya sambil membanting pensil yang tadi ia pegang. Aku tak pernah melihatnya sefrustasi itu. Dia hampir berteriak tapi ia menahannya. Mataku nyaris tak berkedip melihatnya. Kemudian dia menenangkan diri dengan minum air putih. Lantas ia kembali mengambil pensil dan fokus belajar lagi.
"Seo Changbin, kau bisa jadi apapun yang kau mau karena kakakmu sudah menjadi yang orang tuamu inginkan. Berbeda denganmu, dia tidak bisa melakukan apapun yang dia mau."
Aku belum pernah memikirkan itu sebelumnya. Mungkin, aku tidak sadar bahwa Chan menjadi sempurna adalah bentuk rasa sayangnya padaku dan Jisung. Aku dan Jisung bisa bebas melakukan apapun karena sudah ada dirinya yang mengemban beban sebagai kakak pertama yang berkewajiban memiliki masa depan yang cerah. Jika Chan memilih melakukan hal dengan sesuka hati, maka akan berdampak pada apa yang akan kami semua emban di masa depan.
Karena dia adalah yang pertama. Karena dia yang membuat sebuah jalan untuk kami lewati. Chan harus membuat jalan itu dengan tenaga dan juga kemampuan, agar aku dan Jisung bisa melaluinya hanya dengan berjalan kaki. Chan mengorbankan masa mudanya, menutup diri di ruangan terkunci—semata-mata untuk masa depanku dan Jisung.
Kenapa dia terlihat tidak bahagia? Padahal dia punya segalanya.
"Tidak. Ada beberapa hal yang kakakmu tak punya," ujar Jae. Ia tersenyum dan menjentikkan jarinya kembali.
Adegan terasa berubah menuju waktu di mana acara kumpul-kumpul tiba. Keluarga besarku berkumpul bersama kerabat-kerabat lainnya ketika ulang tahun Jisung—aku tidak ingat yang keberapa. Yang jelas saat itu ramai sekali, bahkan keluarga Wooyoung—tetangga sekaligus teman baikku—juga ikut hadir. Kami memang sering melakukan acara kumpul-kumpul seperti ini, bahkan tanpa konteks sekalipun.
Aku melihat diriku yang tertawa terbahak-bahak sambil mengoceh di tengah-tengah keluarga besarku. Sifatku yang banyak omong menular dari ibuku, dan itu membuatku lumayan mudah dekat dengan keluarga besarku. Meski dengan begitu aku juga sering jadi bahan ledekan, namun itu artinya aku dan mereka memiliki hubungan yang akrab.
"Coba cari, di mana Chan." Jae memutuskan kesenanganku yang tengah menonton masa lalu.
Aku menuruti pintanya. Aku menyapu seluruh ruangan dan akhirnya menemukan Chan yang tengah duduk berdiam diri disamping lemari. Aku menagkap gelagat bahwa dia mencoba untuk masuk dalam obrolan tapi hanya berakhir diam karena sifat kakunya lebih menekan. Sifat yang sudah terlanjut mendarah daging karena dia sendiri yang memutuskan bahwa ia akan jadi orang yang seperti itu.
"Chan," lirihku. Mataku memanas. Aku baru sadar, betapa kesepiannya dia.
Aku yang selalu iri dan marah karena selalu menjadi perbandingan buruk jika disejajarkan padanya—kini merasakan sebagian sisi yang berbeda dari sebelumnya.
"Kau bisa menikmati dirimu apa adanya bersama orang-orang terdekatmu. Chan tidak bisa." Kalimat Jae semakin membuatku terjerumus dalam rasa bersalah karena selalu menatap Chan sebagai sesuatu yang tidak kusukai.
Aku mudah saja memeluk ibuku, meledeki ayahku dan disukai oleh Jisung. Chan tidak bisa melakukan itu semua. Jika aku iri pada kalimat pujian orang-orang terhadap Chan, maka mungkin Chan iri pada cara orang-orang berinteraksi kepadaku. Aku mengharapkan kesempurnaannya, dan dia diam-diam menginginkan kebebasanku.
"Sudah paham sekarang?" Tanya Jae.
Aku mengangguk.
"Bicarakan banyak hal padanya nanti saat kalian bertemu lagi." Jae menghela napas dan kemudian memindahkan kami kembali ke dalam bis.
Seo Changbin, kau adalah adik yang disayangi kakakmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
unanswered questions ✓
FanficBis itu bergerak karena beberapa pertanyaan. Kemudian berhenti karena sudah menemukan jawaban.