39 : Mungkin Memang Berat

454 111 17
                                    


Jimin

Hamparan sungai panjang membentang sampai ke ujung mata. Tidak menyisakan ruang untuk Jimin menengok atau sekadar berpaling dari pemandangan teduh di hadapan. Beberapa ranting pohon masuk dari ceruk mata. Seolah benda asing yang tiba-tiba masuk frame film. Gesek dedaunan, berisik ranting, dan gemericik air mendominasi pendengaran. Jimin merasa ia ada di tempat paling nyaman di seluruh dunia. Terasa seperti rumah.

Arus air yang semula menenangkan dan membawa syahdu, berubah jadi deras. Awan mendung menggantung dan melahirkan cambuk petir. Bertub-tubi. Seolah mengamuk dan seluruh alam harus tahu. Entah siapa yang jadi dalangnya. Mungkin Tuhan sendiri.

Kedua kaki nya berusaha melangkah menjauh. Meski Jimin tahu kalau ia bergerak, artinya ia melawan terjangan air, ia tidak peduli. Menyelamatkan diri jauh lebih penting untuk saat ini. Langkah yang awalnya cuma bersifat antisipasi, kini berubah panjang. Jenjang. Ia dikejar apa saja yang menantinya di ufuk mata. Ia tahu pasti. Batinnya bertalu seolah menitah kalau Jimin harus segera keluar dari tempat ini. Kemana saja.

Licinnya batuan kali jadi penghambat. Menggelincirkan tapak kaki beberapa kali. Jimin bangkit dan kembali jatuh ke pelataran sungai. Tidak begitu dalam. Termasuk dangkal dan tidak perlu berusaha lebih untuk bisa bergerak. Tapi sesuatu seolah menariknya kembali. Untuk diam di tempat yang sama. Sekuat apapun dirinya meronta, tidak bakal ada yang datang. Mungkin ini memang ajal yang sudah menanti. Kalau memang ia harus diambil sendirian, ia pasrah. Menutup kedua kelopak mata dan menanti sampai pagi.

...


Peluh di dahi mengalir sampai ke leher. Membasahi bantal yang ada di balik kepala. Jimin cuma mimpi. Seratus persen sadar dengan mata melotot dan disambut redupnya ruangan. Cuma cahaya dari lampu kamar mandi yang tersisa. Ia menoleh ke kiri dan bertemu dengan tembok putih, kamar kos nya. Kalau memang ini kenyataan sebenarnya, Jeongguk pasti ada di sisi kasur yang lain. Hati-hati ia mengecek. Bertemu pandang dengan sosok yang sudah tertidur pulas. Dihiasi mulut setengah menganga dan dengkuran halus. Jimin aman. Untuk kali ini ia selamat.

Ditariknya selimut yang menggantung sampai kaki. Lekat-lekat supaya hawa dingin tidak melipir masuk tanpa permisi. Meringkukkan tubuh agar bisa berubah jadi gumpalan kain dan masuk di pelukan Jeongguk yang terbuka. Cuma pemuda ini yang jadi sumber panas di dalam ruangan.

"Kenapa?" bisik Jeongguk. Suaranya berat khas orang yang terganggu tidurnya. Tidak tersirat amarah karena diusik oleh sang kekasih. Justru kedua lengan nya mendekap tubuh Jimin dalam pelukan. "Ndak bisa tidur?" Bisa Jimin rasakan sekat yang terbentuk akibat banyaknya kasa yang menempel di tubuh sang kekasih. Membantu mengeringkan lukanya.

"Kebangun," jawab Jimin yang teredam kain selimut.

"Ya, sudah. Tidur lagi."

"Jeongguk, mau tanya."

"Tanyanya besok saja. Aku ngantuk."

"Cuma satu."

Salah satu kelopak Jeongguk menyambut. Menampilkan manik mata nya yang selegam arang. Menantikan pertanyaan yang hendak Jimin lontarkan.

"Aku mimpi ada di sungai."

"Terus?"

"Seperti mau tenggelam tapi tidak tenggelam." Jimin merasa kalau kalimatnya rancu. "Bagaimana, ya, bilangnya." Ia pendarkan pandangan lebuh dulu untuk memikirkan kalimat yang paling tepat. "Apa memoriku ada yang di sungai?"

"Ada, pasti."

"Bukan cuma satu, toh?"

"Kita main di sungai, kan, ndak cuma sekali."

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang