01 | Pelempar Isapan Jempol

114 21 15
                                    

.

Herzlich Willkommen!

.

Kakinya melanglang pelan di tanah basah. Matanya menjilat-jilat kerusakan yang katanya disihir kaum-kaum borjuis. Ia meremas ranselnya, yang mencekik punuk lengketnya. Butiran cairan elektrolit mulai bersepah, merosot sampai mengecup bibir hitamnya. Gundah gulana dalam raungan, bersemuka dengan bongkahan premis, tak lupa, pada hotel prodeo yang menganga minta makan tikus. Ia gemetar saat berada di bibir kota, kelopak matanya geram untuk memuntahkan bola yang senantiasa berkelana ke kanan dan ke kiri. Lantaran muak, dengan hukum rimba yang mengaum.

Ia merasa, bahwa lebih baik bertunas di masa renaisans, ketimbang harus disirami air kencing di masa modern. Sama, ia juga bimbang perihal si benar yang selalu dikuliti oleh si haus darah lagi tebal hati.

Langkahnya bertuah, membawanya pada sekelompok sesama yang tengah berkerumun menyorot kelima sosok necis.

Ia bertanya pada pribadinya, "Siapakah mereka?"

Lalu, orang asing pun menjawab, "Mereka pemimpin kita."

Ia menoleh pada orang asing. Lalu bersoal, "Sedang apa mereka?"

"Mereka sedang menyuarakan sebuah harapan, rangrangan, dan kabar gembira," jawab orang asing, ia tersenyum sebelum bergabung dalam kerumunan demi menyantap orasi ramai-ramai.

Ia menggeleng. Telinganya merekam raungan-raungan paradoksal. Lantaran beberapa friksi yang berisi kejenuhan dari bau boyak lidah penguasa—yang sebagian matrealis.

Jika saja, kelima orang itu bernama Abdul Hamid, yang tak akan mengerahkan tanahnya pada Theodor Herzl, bapak zionis visioner biadab. Atau, Abraham Lincoln—yang membebaskan perbudakan dan mengangkat perekonomian di negri paman SAM? Atau, Napoleon Bonaparte? Yang mereformasi Prancis dengan militer dan politiknya. Atau Umar bin Khattab? Pemimpin sederhana, yang membuat Perdana Menteri Romawi pelik lantaran menjumpainya datang tanpa kavaleri dan infanteri. Lalu ... Mahtama Gandhi, yang memimpin tanpa kekerasan?

Jangan, jangan berfantasi sampai putus urat. Yang seperti itu, mungkin hanya tersedia di negri antah berantah.

Bonafide, dikerahkan, urat penguasa sampai gendut demi membuktikan determinasi. Urat rakyat tak hanya gendut, tapi telah putus, sebelumnya juga putus, sebelum dari sebelumnya juga putus, semua ini, akibat hukum rimba yang tak lagi mengaum, karena, hukum tersebut telah bertelur di tempat di mana suap beringsut. Kami sangat, berat jantung.

Ia mendekat, pada pemuda yang direngkuh almamater kuning. Lalu bersoal, "Kalian mengapa, terlihat muak?"

Ah, kelihatannya, ia agak militan.

"Bukan muak. Lebih tepatnya bosan dengan janji-janji, yang selalu direnovasi setiap masa! Kami tak hanya mendengar, tapi kami juga melihat untuk menyaksikan bukti, yang tak kelihatan batang hidungnya," jawabnya, di sela-sela friksi hantam kromo.

"Memangnya, apa yang kalian dapat?"

Pemuda itu menoleh, kemudian menjawab, "Kami dapat peristiwa, yang belum kami lihat."

"Maksudmu, janji-janji mereka yang terwujud?"

"Bukan, kami tak pernah mendengar peristiwa ini dari moncong mereka," si pemuda mengelak. "Yaitu anonim dari janji mereka yang menyapa kami, memberikan kami luka, untuk tak lagi berharap pada penguasa—apalagi yang sok martinet, ternyata terciduk sedang meneguk ludahnya sendiri."

Ia terdiam, kala pemuda itu memutus koneksi. Ia berhajat, untuk mengahadapkan wajahnya pada pasukan necis itu. Ia memaksa tubuhnya untuk digaruk-garuk massa, tak jarang, ranselnya mencekik lehernya yang berlumut. Demi menatap wajah-wajah pribumi harapan bangsa. Setelah sampai, ia bersemuka dengan kelimanya, yang tengah menyipratkan ludahnya, di kota Senayan.

Ia, terdiam kala mendapatinya.

Setelah itu, ia membuka ranselnya dan mengeluarkan senapan dari dalamnya. Inilah yang ia tunggu-tunggu, menodongkan senjata di muka pengkhianat sambil bernarasi dengan diksi-diksi yang pasi.

Ia berorasi, menegakkan suaranya, sampai yang lain ikut tegak dibuatnya. Lalu, di hadapan para penguasa,

Ia membidik, senapannya.

Belum juga ia lepas pegasnya,

Dor!

Ia ditembak duluan oleh peluru, tanpa pemilik. Lah kok?

Bagaimana ia mau menembak? 'Kan senapannya tak memiliki tuas?

Bagaimana mereka bisa menembak? 'Kan ia hanya membentuk lengannya, layaknya senapan?

Bagaiman mau punya senapan? 'Kan ia cuman sosok yang selalu berangan-angan?

Karena ia tak punya ruang, untuk cari uang, bukan buat beli senapan, tapi untuk beli lalapan sebelum ia mati kelaparan.

Oh ternyata, ia ditembak lantaran narasinya yang mengundang konfrontasi. Padahal ia bicara benar, narasinya pun tak sesarkas Charlie Hebdo? ... ia terlalu sarkas? Atau mereka yang anti kritik?

Bisa jadi, narasinya, bertuah untuk menguliti sebuah janji yang ternyata hanya sebuah, isapan jempol.

.

Wir sehen uns wieder!

_

INI CERITA APAANSIH WKWK??????? beneran asli, aku kalau bikin novel gitu, bawaannya muales, giliran bikin yang kayak gini, malah sukaaaa, padahal aku suka berkhayal buat nerbitin novel terus novelnya di pilemin :((((( terus aku deh yang main pilemnya, terus aku yang dapet profit, terus aku yang menang award, AH UDAHLAH-MAKIN MAKIN DAH GUE [kembali ke aku-kamu] ges terus, aku pernah denger wejangan dari Ustadz Hanan Attaki,

bahwa, "Kalau seorang pemimpin tidak tahu visinya dan jalan menuju visi itu, maka ia akan dipimpin oleh orang lain." *DAB

Anw, maaf banget guys kalau ada typo, salah PUEBI, atau kata-kataku susah dimengerti :(( kasih krisar aja gak apa-apa kok, kita sama-sama belajar!

Udah deh ah udah malem, aku ngetiknya di atas jam 12 malem soalnya, mana besok daring lagi hadeuh ... semoga menikmati ceritanya dan .... Bismillah, semoga aku tidak unpublis/menelantarkan cerita ini! 😔🤚

Herzlich Willkommen!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang