Bagian Tiga

6 1 0
                                    


"Naya, serius yang semalem itu Bang Dani?"

Terhitung ini adalah pertanyaan keempat Rena. Sejak semalam gadis itu memberondong Naya dengan segala pertanyaan, membuat Naya pusing bukan kepalang.

"Iya, Ren,"

"Awas aja kalau nanya lagi!" Lanjut Naya cepat saat Rena hendak bertanya kembali.

"Serius ih, Bang Dani makin kece bandai," Pekik Rena sembari membayangkan betapa gagahnya Dani semalam.

"Biasa aja." Sahut Naya acuh.

Rena melongok ke kubikel Naya, memperhatikan gadis itu tengah memeriksa nilai ulangan harian.

"Emang Kamu beneran nggak ada rasa gitu, sama Bang Dani?"

Pertanyaan Rena membuat Naya bungkam, menatap kosong pada kertas bertuliskan mirip ceker ayam.

"Bang Dani ganteng loh, kurang apa coba? Tampan, badan gagah perkasa, matang dan mapan. Mapan banget malah. Yah, cuman minus Duda ajasih."

"Tapi, kalau Aku jadi kamu nih, Nay...Aku bakalan terima sih. Gak papa Duda, yang penting tajir melintir. Ah, aman tujuh turunan..." Celoteh Rena.

"Dasar mata duitan!"

"Realistis!" Ralat Rena.

Naya memutar bola mata jengah. Memilih mengabaikan Rena dan kembali fokus dengan kegiatannya.

Sejenak Naya tertegun dengan kalimat yang diucapkan Rena barusan. Namun, memilih mengabaikan. Tidak ada gunanya, toh semua sudah berakhir kini.

.
.

"Mau bareng nggak?" Tawar Rena pada Naya.

Keduanya kini berada di Koridor kelas, melangkah turun ke parkiran.

"Nggak deh, mau naik taksi aja. Lagian kita nggak searah," Perjelas Naya.

"Ck, kayak sama siapa aja sih? Sekalipun rumahmu diujung Himalaya juga Aku anterin."

"Yaudah, besok Aku pindah ke Himalaya,"

"Yeee, nggak gitu juga kali Bambang!"

Mobil fajero hitam mengklason dari luar gerbang sekolah. Keduanya menoleh, dan mendapati sosok tampan nan rupawan di dalam mobil lengkap senyum manis.

"Bang Dani?" Rena bertanya, entah pada siapa.

Dani turun dari mobil, setiap langkah kakinya adalah seni mahal. Berwibawa dan tampan, paket komplit. Apalagi, senyum Dani seperti magnet yang menarik siapapun juga akan ikut tersenyum dan terpesona. Naya baru menyadari itu.

"Rena,'kan?" Dani bertanya tepat ketika kini berada di depan dua gadis.

Rena mengangguk berkali-kali, saking terpananya, "i-ini, Bang Dani,'kan? Yang dulu ngejar-ngejar Naya?" Seketika Rena langsung menutup mulutnya, mendapati tatapan tajam Naya dan senyum lembut milik Dani. Rena merasa tidak sopan menanyakan hal itu, huh, andai kata-katanya bisa ditarik.

"Iya, sampai sekarang juga masih ngejar-ngejar," Jawab Dani ringan. Tidak merasa tersinggung dengan perkataan Rena barusan.

"Kalau Naya nggak mau. Sama Rena aja, Bang." Lagi-lagi mulut Rena tidak bisa di kontrol, beginilah kalau dihadapkan manusia tampan. Lupa daratan.

"Nggak deh, maunya Naya aja."

Entah untuk alasan apa, Naya merasa harus banget mengejek Rena melalui tatapannya. Naya merasa menang. Terlebih, melihat Rena yang salah tingkah menahan malu.

"Eh, hehe. Nay, pulang dulu, ya? Bang Dani, Rena pamit pulang duluan," Pamit Rena sembari menelan rasa malu bulat-bulat. Jujur saja, niatnya hanya bercanda tapi reaksi Dani sungguh diluar perkiraan.

TRUE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang