BAB 7

15.6K 3.5K 399
                                    

BAB 7
♡♡♡

"Lo pasti punya banyak pengalaman sama perempuan kan, sampe tahu detail-detail masalah datang bulan?" Binar bertanya sinis, lebih untuk menutupi rasa malu yang kini memuncak di ubun-ubun setelah melirik ke jok belakang dan mendapati kantung plastik putih berisi beberapa pembalut dari berbagai merk, ukuran dan jenis.

Ada yang bersayap, tidak bersayap, yang panjang, dan yang berukuran sedang.

Andai bisa menendang diri sendiri, Binar tentu sudah melakukannya sejak tadi. Jangan tanya siapa yang membeli barang-barang tersebut. Tentu saja Agra. Seperti yang tadi lelaki itu katakan, mereka mampir ke super market sepulang dari rumah Hilman. Suami barunya itu sempat bertanya jenis pembalut yang biasa Binar pakai. Alih-alih menjawab, Binar justru membuang muka. Jadilah lelaki itu membeli semuanya. Bukan senang, yang ada Binar kian dongkol. Rasa malunya bertambah lima kali lipat.

"Lumayan," jawab Agra dengan nada tak peduli.

"Dasar buaya!"

Agra meliriknya dengan ujung mata. Salah satu alis pemuda itu naik sedikit saat berkata, "Saya harap tidak. Buaya terlalu setia pada satu pasangan."

"Darat!" Binar menambahkan dengan nada lebih sinis, ia bahkan mendelik untuk memperjelas maksudnya. Dalam hati berdoa agar jalanan bisa lebih lengang hingga mereka bisa secepatnya sampai di apartemen. Berdua dengan Agra di dalam ruang mobil yang sempit sungguh menyesakkan. Ah, tapi bahkan di apartemen, Binar tidak memiliki tempat sembunyi atau menyendiri-kecuali ia bersedia tinggal di kamar mandi yang dingin dan berbaring di bathup? Huh, betapa menyedihkan!

"Saya tidak tahu apa yang dulu kamu pelajari di sekolah." Agra menghentikan mobilnya di belakang kendaraan lain saat lampu lalu lintas berubah merah. Waktu yang sudah menjelang pulang kerja membuat jalanan lumayan padat dan macet. Doa Binar jelas tak terkabulkan. "Buaya memang jenis reptil yang hidup di darat dan air. Saya tidak paham kenapa orang-orang menggunakan istilah buaya untuk menggambarkan lelaki tidak setia. Padahal di mana pun dia berada, baik air atau darat, pasangannya tetap satu. Bahkan meski pasangannya mati, buaya tidak mencari pengganti."

Selalu. Selalu. Selalu.

Binar menyentuh kepalanya yang mendadak pusing. Dia stress. Frustrasi. Pening. Atau apa pun sebutan bagi penderita sakit kepala dadakan.

Bagaimana Binar bisa lupa? Agra serasional itu. Secerdas itu. Semenyebalkan itu. Terlebih, Agra yang banyak bicara-terlalu banyak bicara-masih sangat baru baginya. Akan lebih mudah menghadapi Agra yang pendiam dan sinis. Atau karena mungkin kini mereka sudah menikah, jadi lelaki itu pikir tak ada lagi batas di antara mereka hingga Agra bisa menampilkan seluruh sisi dirinya?

Ini bahkan bukan pernikahan semacam itu, walau kemungkinan keduanya tak punya pilihan kecuali tetap bersama sampai tutup usia, namun tetap saja! Harus ada batas.

Lelah, Binar mengangguk saja untuk mengalah.

Terserah. Terserah. Terserah!

Kepala Binar tambah pening. Ia bahkan sampai memeganginya dengan dua tangan. Dalam hati menangis meraung-raung. Haruskah ia menghabiskan sisa hidup dengan lelaki macam ini? Yang satu saat bisa sangat dingin. Di saat lain luar biasa cerewet. Lebih dari segalanya, logika Agra akan berhasil mengikis kewarasan Binar. Akan sangat luar biasa bila satu tahun dari sekarang ia masih waras, minimal tidak memeriksakan diri ke dokter jiwa atau mendaftar sebagai pasien rawat inap RSJ dengan suka rela. "Semerdeka lo sekeluarga sajalah!"

Agra mendengus lagi. Binar curiga memiliki suami ingusan. "Tapi itu kenyataan. Kenapa orang-orang sangat aneh? Menjadikan nama hewan sebagai kambing hitam untuk menyebut manusia lain yang menurut mereka amoral."

Lukaku Belum SeberapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang