Malam merangkak menuju titik tertingginya. Desau angin menyapa lirih lewat daun jendela yang dibiarkan terbuka. Sepi, dan sendiri.
Nanon sudah terlelap semenjak jam sembilan tadi. Masih terhitung sore untuk ukurannya yang terbiasa terjaga hingga larut. Namun rasa pegal yang menjalar kaki dan punggung, memaksa sang editor tertidur lebih awal.
Suara deritan pintu terbuka disusul derap langkah yang semakin dekat tak membuat lelap Nanon terganggu. Hingga kini seseorang menempatkan diri berbaring di belakangnyapun si lelaki manis tak jua sadar.
"Non..." bisik seseorang yang memeluk Nanon dengan suara teramat lirih. "Aku pulang.." lanjutnya.
Lama tak ada reaksi berarti dari Nanon, si pria memutuskan menyusul si manis menuju lelapnya sendiri setelah menyempatkan mengirim kabar lewat pesan singkat pada seseorang yang juga menunggunya. Dengan posisi masih tetap memeluk Nanon dari belakang, dia terpejam. Menikmati aroma manis yang dirindukannya lewat leher belakang Nanon.
....
"Hoek.. hoek.."
Nanon terbangun. Suara aneh dari kamar mandi menarik penuh atensinya yang meremang takut.
Itu suara apa? -batin Nanon
Dengan rasa penasarannya, Nanon menuju kamar mandi sambil memegangi tengkuknya mengurai ketakutan. Pelan tapi pasti, langkahnya terayun mengendap.
"Hoek.. hoek.." suaranya makin keras seiring dekatnya Nanon ke sumber suara.
Pintunya tak tertutup. Nanon masuk saja tanpa peduli.
Deg!
"Ohm?"
Yang dipanggil menoleh. Menghentikan sejenak kegiatannya muntah di wastafel kamar mandi.
"Sayang, hai.." tak berselang lama, karena keinginannya muntah masih sangat terasa.
Banyak pertanyaan bersarang di kepala Nanon sekarang. Tapi dia tahan. Lebih baik dia membantu Ohm terlebih dulu sekarang, karena bagaimanapun keadaannya kini tampak sangat buruk.
Dengan telaten Nanon memijat tengkuk kekasihnya. Memandang kasihan sosok yang begitu dirindukannya.
Setelah selesai dengan urusannya, Ohm kembali ke kamar dengan dipapah Nanon. Sang kekasih mendudukkannya di pinggir ranjang untuk ditinggal sejenak mengambil minum di dapur.
"Minum dulu." Ohm menerima segelas air putih dari tangan Nanon. Meminumnya setengah bagian untuk menetralisir mual yang sempat mendera.
"Sejak kapan kamu pulang?" Tanya Nanon duduk di sebelah Ohm.
"Tadi malem. Kamu tidur nyenyak banget, makanya aku nggak tega bangunin."
Nanon mengangguk. Alasannya bisa diterima.
"Sekarang kamu masih jetlag? Kayanya agak parah ya sampai muntah gitu."
"Sebenernya udah sering begini."
"Maksudnya?"
"Di rumah ibu juga aku sering muntah pagi-pagi."
Nanon mengerjapkan mata. Tangannya meremas pinggiran ranjang gelisah.
Pasti karena ini -batin Nanon sambil tak sadar tangannya memegang perut
"Ya udah kamu istirahatlah dulu, biar aku buatin sarapan. Hari ini belum ke kampus kan?" Nanon bangkit menuju pintu.
Ohm kembali menyamankan diri di atas ranjang. "Belum. Kayanya besok aku baru ke kampus buat konsultasi judul ke profesor Bonsak."
"Bagus deh. Aku ke dapur dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DECISION (OhmNon Vers.)
Fiksi PenggemarKisah tiga hati yang sama-sama bermuara di satu hilir. Warning : Pernah dipublish dalam versi PavelDome oleh author yang sama. *Keterangan lebih lanjut baca bagian Prolog