Happy reading ❤
****
Hari ini, Inggit terbaring di tempat tidurnya, tubuhnya panas seperti bara api, dan gemetar seperti dedaunan yang tertiup angin dingin. Meskipun matahari bersinar cerah, suhu tubuhnya seakan menentang segalanya. Selimut tipis menutupi tubuhnya, namun tetap saja tak mampu mengusir rasa dingin yang menyelimuti setiap pori-porinya. Kasur lantai yang sederhana seolah mengingatkan pada hidup yang penuh keterbatasan-tidak terlalu kecil, namun juga tidak memberi kenyamanan seutuhnya.
"Sayang, kamu minum obat dulu ya," suara lembut Asih terdengar, memecah kesunyian. Ia membuka pintu yang hanya diselipkan oleh korden pink yang lusuh, seakan menggambarkan masa lalu yang penuh kenangan.
"Aku dingin, Bang... etttt bun," Inggit menjawab dengan suara yang lemah, merapatkan selimut, tubuhnya meringkuk seperti bayi dalam pelukan ibu.
Sabar, sayang, sabar, gumam Asih dalam hati, menahan air mata yang hampir saja tumpah. Ia mengambilkan jarik loreng yang terlipat rapi di almari dan membalutkannya pada tubuh Inggit, seakan membungkus anaknya dengan segala kasih sayang yang tak terbatas. Matanya berkaca-kaca, memandang tubuh Inggit yang terbaring lemah, dan seolah-olah, kenangan tentang masa lalu yang penuh kemewahan-dimana mereka pernah memiliki segalanya-kembali hadir dalam benaknya.
Andai saja keadaan seperti dulu, saat mereka mampu memberikan yang terbaik untuk anaknya, berobat ke rumah sakit dengan segera, makan dengan lauk bergizi, tidur di ranjang yang nyaman dengan bed cover yang tebal. Tapi kini, hanya selimut tipis, kasur lantai, dan jarik yang menghangatkan tubuh Inggit yang sakit.
"Ibu minta maaf," kata Asih, suaranya gemetar, seakan sebuah beban tak terkatakan meluap dari hatinya. Ia mengusap lembut puncak kepala Inggit dengan kasih sayang yang tak terhingga.
Inggit membuka mata, meski tak sepenuhnya bisa menahan kantuk dan rasa lelahnya. Namun, ia tersenyum lembut pada ibu yang selalu hadir dengan kasih sayang yang tak tergantikan. "Ngga apa-apa, Bu. Justru aku yang minta maaf sudah merepotkan ibu, dan..." Suaranya hampir hilang ditelan isak tangis yang perlahan muncul di sudut matanya.
Asih segera memeluk Inggit, menenangkan putrinya dengan pelukan yang sehangat matahari pagi, menghapus segala kerisauan di hati. "Jangan seperti itu. Ibu justru bersyukur banget punya kamu dan Bella sebagai penyemangat hidup ibu," kata Asih, air mata yang sejak tadi tertahan, kini jatuh begitu deras, membasahi pipinya.
Inggit melepaskan pelukan itu dan berusaha duduk, meski tubuhnya masih menggigil. "Ibu nangis?" tanyanya polos, tak mengerti kenapa ibunya menangis.
Asih menggeleng pelan, namun senyumnya tetap hangat dan penuh kasih. "Ibu nggak nangis kok. Ibu cuma bersyukur punya anak sebaik kamu dan Bella," jawabnya, sambil kembali menarik tubuh Inggit ke pelukannya, memberikan kehangatan yang tak terlukiskan, mengalir seperti aliran sungai yang menenangkan jiwa.
000
"Vano, pulang sekolah anterin gue ya?" Sasa bertanya dengan nada manja, bergelayut di lengan Vano. Tak bisa dipungkiri, dia selalu tahu cara membuat Vano merasa sedikit cemas.
Namun, Vano mencoba melepaskan tangan Sasa yang terulur, seakan-akan tangannya begitu berat untuk ditahan. "Gue ngga bisa!" jawabnya, dengan nada yang keras, seperti suara petir yang menggelegar di langit sore.
![](https://img.wattpad.com/cover/250320631-288-k432032.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPOTONG HATI
Random[ °° 𝗦𝗘𝗣𝗢𝗧𝗢𝗡𝗚 𝗛𝗔𝗧𝗜 °° ] 𐙚 Dalam perjalanan hidup, setiap orang setidaknya sekali akan bertemu dengan seseorang yang meninggalkan bekas begitu dalam, hingga waktu pun tak mampu menghapusnya. Sosok itu, meskipun hanya hadir sebentar, meng...