Apa ini? Yang dinamakan sebuah permaiman dalam lingkup kehidupan, atau hanya sekedar alur cerita yang belum terselesaikan.
««««
Kali ini cowok jangkung yang sering di kata tampan. Namun, pelit respon. Sepertinya sedang kalang kabut, Benaknya kini fokus pada pilihan berkelit, hingga seakan-akan terasa terbelit.
Sesekali terpikir olehnya bahwa pernyataan tadi hanya halusinasi belaka, tanpa ada kata realita. Namun, sekali lagi di tegaskan kalau hidup memang sebuah pilihan yang terasa sangat plin plan. Maka dari itu mengambil keputusan harus berpikir jernih sebelum keputusan itu membuat kita jatuh.
Stevan menghela nafas untuk ke berapa kalinya, tak terhitung sudah berapa kali bola dengan warna cenderung coklat, yang dinamakan bola basket. Ia pantul dan lambungkan hingga jatuh kedalam lingkaran ring penuh jaring.
Beginilah ia, kamera dan basket sudah menjadi andalan disaat amarah butuh pengendalian. Kali ini Stevan memilih basket, karena irama pantulan bola berberangan pula dengan hentakan sepatu, membuatnya sedikit terkendali dari amarah kian memaki.
Sudah puas dengan pantulan-pantulan bola, ia membentangkan badannya di lapangan, menghadap langit malam yang terasa kelam. Pikirnya kembali terfokus pada keputusan yang dilontarkan ayahnya barusan.
»»»»
"Stevan Pra'diksara," panggil pria berkemeja lengkap dengan jas melekat. Pria ini mengarahkan dagu ketempat kosong di sudut ruang, seolah memberi isyarat jika ia harus menjatuhkan pantat di tempat itu.Stevan menoleh, memusatkan pandangan pada laki-laki yang menyandang status kepala keluarga. Ia menyusun langkah, menghampirinya lalu duduk ke tempat yang di tunjuk.
Stevan Membuka suara terlebih dahulu dalam kalimat tanya. "Ada apa? Yah."
"Ayah mau ngomong," ucap Dripta. Lekukan bibirnya memang berkembang, tapi di balik senyum itu ada maksud yang tersirat.
Stevan diam ia hanya perlu menyimak terlebih dahulu, sebelum menerka-nerka apa yang ingin ayahnya sampaikan.
"Kamu bisa penuhi permintaan Ayah, kan, Pradiksara?" panggilan 'Pradiksara' yang kerap ayahnya gunakan berbeda dengan teman terdekatnya memanggilnya dengan sebutan 'Srevan"
Stevan tidak menjawab ia hanya menunggu kalimat apa lagi yang akan Ayahnya ucapkan.
"Ayah mau jodohin kamu dengan anak teman Ayah," kata Dripta.
Suara berisikan maksud itu mampu merubah raut wajahnya dengan berbagai kerut-kerut yang susah di artikan, tak bertahan lama raut wajahnya kembali pada semula. Karena ini Stevan selalu pandai menetralkan emosi.
"Kali ini, Stevan gak bisa," jawab Stevan nadanya terbilang santai walau amarah kian menggurui.
"Apapun alasannya yang menguatkan argumen mu itu akan percuma, Pra'diksara! Karena Ayah udah mengambil keputusan dan keputusan itu tidak bisa dikembalikan," Dripta berjalan kearah anak semata wayang ini.
Sudah ia duga jika responnya akan seperti ini, tapi ia tak masalah. Ia rasa bahwa keputusan yang diambil sudah benar.
Stevan berdiri, emosinya semakin memuncak. "Atas dasar apa, yah?! Apa karena bisnis? Kenapa? Kenapa Ayah gak minta pendapat Stevan dulu?!" Nadanya kini sedikit meninggi, raut wajahnya pun tak setenang tadi
KAMU SEDANG MEMBACA
GRIBBELIA
Teen FictionHARAP FOLLOW SEBELUM BACA 😊 . . . . . . . Ini tentang Ananta Gribbelia, cewek dengan sejuta pertanyaan dihidupnya, teka-teki kelam yang belum terpecahkan selalu jadi pengiring tidur setiap malam. 'Ananta' terlalu rumit apabila kita terjemahkan s...