Semuanya terlalu tiba-tiba
layaknya dunia yang diterpa bencana
hanya bisa menerima tanpa menolak.»»»»
Terjawab sudah. Segala pertanyaan yang mengantri di otaknya, segala terkaan yang belum tentu benar faktanya, dan segala kemungkinan yang akan terjadi di detik ini.
Gribbelia duduk di tengah kedua orang tuanya, seperti keluarga utuh pada umumnya, terpancar raut bahagia dan senang satu sama lain. Ya, walaupun itu hanya kepalsuan semata.
"Tidak ku sangka, anak mu sudah sebesar ini, Drich." Senyum ramah Dripta tak pernah pudar sedikitpun.
"Begitu juga dengan anak mu," ucap Aldrich. Hanya senyum simpul yang diperlihatkan.
Sejak dulu Aldrich memang tidak suka banyak bicara, ia lebih terkesan dingin dan eksplisit, meskipun begitu, ia selalu menganggap kalau hati papanya tak seburuk temperamennya. Semoga saja benar begitu.
"Seingat ku, pertama kali kau bawa ke kantor dia masih kecil, mungkin umurnya masih tujuh tahunan." Dripta mengingat-ingat, di saat ia dan Aldrich tanpa disengaja saling berbarengan mengajak anaknya ke kantor, mereka saling memperkenalkan satu sama lain. Itu berarti Stevan dan Gribbelia sudah saling mengenal sejak kecil.
Persahabatan Dripta dan Aldrich sudah terjalin cukup lama bahkan, keduanya memutuskan untuk membangun bisnis bersama dengan alasan, agar tali persahabatan mereka tetap terjaga.
"Itu artinya umur mu sudah mulai menua, Drip," papar Aldrich.
"Kau jangan bahas umur lah! Drich, tua-tua gini juga Gina tetap terpesona dengan kharisma ku," balas Dripta bangga tak lupa dengan selingan tawa.
Gina hanya geleng-geleng kepala karena terlalu malas menanggapi ocehan dari suaminya itu.
"Cantik, persis seperti ibunya," puji Gina lalu tersenyum hangat ke arah Gribbelia setelah itu berganti ke Dania.
Dania-- mama Gribbelia, hanya menanggapi dengan sudut bibir terangkat tanpa merespon apa-apa.
Gina merasa ada yang aneh dengan keluarga ini, seperti ada yang janggal, entah apa itu. Terlebih lagi saat melihat ekspresi yang di tujukan Dania pada Gina, agak keliru dimatanya.
Dania sekarang nampak berbeda dengan Dania yang dulu ia kenal, dia ingat betul waktu pertama kali mereka saling berkenalan. Walaupun baru kenal pada saat itu Dania lebih terkesan ramah dan banyak bicara.
Gina tetap berperasangka baik terhadap firasat yang berlomba di hatinya, karena ini adalah awal dari niat baik mereka. Pamali kalau dia selalu berpikir yang tidak-tidak.
"Kenalin ini Stevan anak Tante sama Om." Pernyataan barusan Gina lontarkan untuk Gribbelia.
"Aah iya Tante. Aku Ananta Gribbelia, Tan." Tanpa ditanya, Gribbelia langsung menyebut namanya sendiri agar tidak perlu basa-basi.
"Kalian berdua apa sudah—" Tidak sempat Gina meneruskan ucapannya, Stevan sudah lebih dulu menyela.
"Udah kenal, Bun, kebetulan satu sekolah," jelas Stevan. Seolah lebih dulu tahu apa yang hendak bundanya ucapkan.
"Jadi bagaimana? Apa kalian setuju? Dengan pertunangan ini," tanya Dripta.
"Kesepakatan bersama aja, Yah," jawab Stevan. Ia tak mau ambil pusing dalam hal ini, tak lupa dengan tatapan yang ia tujukan pada Gribbelia, meminta pendapat lewat tatap tanpa bercakap.
KAMU SEDANG MEMBACA
GRIBBELIA
Teen FictionHARAP FOLLOW SEBELUM BACA 😊 . . . . . . . Ini tentang Ananta Gribbelia, cewek dengan sejuta pertanyaan dihidupnya, teka-teki kelam yang belum terpecahkan selalu jadi pengiring tidur setiap malam. 'Ananta' terlalu rumit apabila kita terjemahkan s...