04. Atap Sekolah

26 11 0
                                    

Kedua jarum jam dinding berputar terus-menerus. Menandakan bahwa waktu terus berjalan-begitu juga hari yang telah Delian lewati. Tak banyak yang terjadi di masa dirinya menjalankan misi aneh dari malaikat.

Sejak saat itu juga ia terakhir kali menampakkan wujudnya pada Intan-pertemuan sekaligus perkenalan pertama mereka. Meski sebenarnya Delian sudah tahu sedikit demi sedikit gadis itu dari malaikat.

Sarapan keluarga Intan tetap hangat-sama seperti hari-hari sebelumnya dan ia yakin juga akan terus seperti itu. Setiap malam tiba, terkadang Delian pergi ke rumah sakit-sekedar menengok orang tua dan dirinya sendiri disana.

Jia.

Delian tidak pernah melihat gadis itu disana. Sejak terakhir kali ia melihatnya duduk disamping ranjang-membungkus tangannya dengan hangat. Jia tak pernah lagi terlihat keberadaannya. Delian berusaha sekuat tenaga agar otak dan hatinya berhenti untuk berkata serta memikirkan hal aneh-aneh. Tapi belakangan ini ia terus diganggu overthinking yang digerogoti rasa penasaran.

Sebab ia rasa hari ini Intan tak begitu mengganjal-setiap waktu yang dilewati gadis itu pun terasa monoton. Pagi ini Delian berniat untuk pergi ke sekolah. Jika Jia tak lagi disana, ia akan bermaksud menyerah. Mana mungkin gadis itu membolos?

Kaki Delian menuntun dirinya menyusuri koridor kelas dua belas yang hening-di hari Senin seperti ini, biasanya mereka melaksanakan ujian mendadak dari guru. Netra Delian menyipit. Jia disana. Duduk manis memainkan bolpoin dengan jemari lentiknya. Gadis itu masih baik-baik saja. Sesekali ia melihat Jia bercanda tawa dengan teman sekelas-sungguh Delian juga rindu seperti itu. Ia sudah berbaring terlalu lama di rumah sakit.

KRING!

Suara melengking khas milik sekolah itu membuat seluruh siswa-siswi disana secara otomatis tersenyum-bahkan sebagian bersorak gembira seperti kerasukan. Bel pulang baru saja menggema.

Delian mengikuti langkah Jia. Suasana sekolah kian sepi-hanya ada beberapa pelajar yang menunggu jemputan mereka di depan sekolah. Gadis itu sampai ke depan gerbang-bersama dua sahabatnya. Tangan Jia melambai antusias saat kedua sahabatnya memutuskan untuk pulang lebih dulu-meninggalkan ia sendiri di depan gerbang. Tidak biasanya gadis itu mau menunggu jemputan sendiri.

"Ji?"

Delian menoleh-memutar kepalanya seratus delapanpuluh derajat ke arah belakang. Seorang lelaki yang ia kenal sebagai karib terdekatnya berdiri disana. Menampilkan senyuman paling manis yang pernah Delian lihat kepada gadisnya.

Agas Sagara.

"Sekarang gas?"

Agas mengangguk sebagai jawaban. Delian terheran-heran setengah mati sembari mengikuti langkah kedua orang itu menaiki tangga. Lebih tepatnya terlihat seperti orang idiot-baru kali ini ia bersyukur menjadi roh sebab tak ada satupun orang yang dapat menyaksikan dirinya sekarang.

Apa yang akan mereka lakukan di atap sekolah?

"Beneran nggak mau kerumah sakit, Ji?"

"Ada mama papanya kok disana. Lagian dia tuh koma, Gas. Nggak tahu berapa lama lagi aku harus nunggu. And i'm bored you know. Nunggu dia sadar selama itu. I can't."

"Jadi... kamu nerima aku nih?"

Jia tersenyum simpul-mengangguk dan menatap kedua netra Agas dengan secercah cahaya yang Delian suka. Namun bukan untuknya, cahaya mata milik Jia bukan lagi untuknya. Delian mendecih tak percaya melihat kedua insan itu merasakan kupu-kupu disela pagutan bibir mereka yang bertemu.

"Bajingan!" Teriak Delian-kedua tangan lemahnya digunakan untuk memukul-mukul badan Agas. Nihil. Meski ia tahu dirinya bisa saja menggunakan kesempatan untuk menyentuh sesuatu sekarang. Namun tidak. Bukan sekarang waktunya.

DENTING | Renjun ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang